Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia : Kerajaan Kalingga dan Kerajaan Sriwijaya

Wawasan Pendidikan; Sebelumnya kita telah membahas tentang Kerajaan Kutai dan Kerajaan Tarumanegara yang merupakan kerajaan Hindu tertua pertama dan kedua di Indonesia.  Berikut ini adalah Kerajaan Hindu-Buddha selanjutnya yang ada di Indonesia yaitu Kerajaan Kalingga dan Kerajaan Sriwijaya
picture by pelajaran.co.id
1. Kerajaan Kalingga (Holing)
Nama Kalingga diyakini berasal dari nama sebuah kerajaan di India Selatan.  Dalam berita Cina disebutkan bahwa di sebelah timur Kalingga terdapat Po-Li (saat ini dikenal dengan Bali), di sebelah barat terdapat To-Po-Teng (Sumatera), di sebelah utara terdapat Chen-La (Kamboja) dan di sebelah selatan berbatasan dengan samudera.  Oleh karena itu, diperkirakan Kalingga berada di wilayah Jawa Tengah, tepatnya di Kecamatan Keling yaitu di sebelah utara Gunung Muria.

Sumber informasi utama dari keberadaan Kerajaan Kalingga adalah berita Cina, termasuk tentang Kerajaan Kalingga yang berkembang di sekitar abad ke 7-9 Masehi.  Kemunduran Kerjaan Kalingga diperkirakan terjadi sekitar tahun 742-755 akibat serangan Kerajaan Sriwijaya.  

Raja yang terkenal di Kerajaan Kalingga adalah Ratu Sima yang diketahui memerintah sekitar tahun 674 Masehi.  Ratu Sima dikenal sebagai raja yang tegas dan sangat bijaksana, dimana hukum diberlakukan secara adil tanpa membedakan antara rakyat dengan kaum bangsawan dari kerajaan.

Agama utama yang dianut oleh rakyat Kalingga umumnya adalah Buddha.  Agama ini mengalami perkembangan yang cukup pesat.  Bahkan seorang pendeta Hwa-Ning (Cina) menetap di Kalingga selama 3 tahun.  Pendeta tersebut menerjemahkan kitab suci Agama Buddha Hinayana ke dalam Bahasa Cina dengan dibantu oleh pendeta yang bernama Janabadra.

2. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya berdiri pada akhir abad ke-7 Masehi dan dikenal sebagai kerajaan maritim dan Buddha terbesar di Indonesia.  Menurut para ahli, letak pusat dari Kerajaan Sriwijaya berada di wilayah Palembang tepatnya di dekat pantai dan tepi Sungai Musi.  Sriwijaya berpindah ke Jambi ketika pusat kerajaan di Palembang mengalami kemunduran.

Raja pertama Kerajaan Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Srijayanaga.  Kerajaan ini berkembang melalui keberhasilan politik ekspansinya ke daerah-daerah yang sangat penting untuk perdagangan.  Hal ini sesuai dengan prasasti yang telah ditemukan di wilayah Lampung, Bangka, dan Ligor.  

Melalui berita I-Tsing disebutkan bahwa Kedah yang berada di Pulau Penang juga termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.  Hal ini menjadi bukti bahwa Kerajaan Sriwijaya bukan hanya negara satu pulau (senusa) saja tetapi juga merupakan negara antarnusa yang menguasai beberapa pulau sekaligus.

Sumber informasi mengenai Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita perjalanan I-Tsing, seorang pendeta Buddha dari Cina.  Selain itu juga bersumber dari 6 buah prasasti yang menggunakan Bahasa Melayu kuno dan huruf Pallawa, dengan angka tahun Saka.  Bukti-bukti dari luar negeri yang menjelaskan keberadaan Sriwijaya berasal dari Cina, India, Arab, dan Persia.  

Berikut ini adalah 6 prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di wilayah Sumatera Selatan dan 1 prasasti di Pulau Bangka:

a. Prasasti Kedukan Bukit (683 M)
Prasasti ini berisi tentang perjalanan suci (Sidhayatra) Dapunta Hyang yang membawa 20.000 tentara menuju ke Minanga Tamwan.

b. Prasasti Ligor (775 M)
Prasasti ini ditemukan di wilayah Ligor, Semenanjung Malaya dengan angka tahun Saka 697 (775 M).  Prasasti ini memiliki dua muka, yaitu Ligor A yang berisi tentang pujian kepada leluhur Sriwijaya dan pendirian Buddha Sakyamuni, Aralukiteswara, dan Wajrapani.

Ligor B berisi tentang sebutan Cailendravamsaprabumigadata sebagai gelar bagi para raja-raja dari dinasti Syailendra, yang artinya adalah pembunuh musuh yang gagah berani.  Prasasti ini juga memuat kisah penaklukan Sriwijaya di Pulau Bangka dan Tanah Genting Kra (Melayu).

c. Prasasti Kota Kapur (686 M)
Prasasti ini berisi tentang hukuman kepada para pemberontak dan bagaimana usaha Sriwijaya dalam menaklukkan Bumi Jawa.

d. Prasasti Telaga Batu (683 M), yang berisi tentang jabatan raja.

e. Prasasti Talang Tuo (684 M)

Prasasti ini berisi tentang pembuatan Taman Srikestra atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayanaga (Jayanasa) untuk kemakmuran rakyat.

f. Prasasti Palas Pasemah, yang berisi tentang penguasaan daerah Lampung dan kutukan bagi orang yang berbuat jahat.

g. Prasasti Karang Berahi
Prasasti di Jambi ini tidak memiliki angka tahun, berhuruf Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu kuno.  Isinya adalah tentang kutukan bagi orang yang tidak tunduk atau setia kepada raja dan juga orang-orang yang berbuat jahat.

Kerajaan Sriwijaya menguasai perdagangan nasional dan internasional karena berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan urat nadi perdagangan di Asia Tenggara.  Kondisi ini juga didukung oleh lokasinya yang strategis karena berada di jalur India-Cina.

Penguasaan Sriwijaya atas Selat Malaka juga memiliki arti yang sangat penting terhadap perkembangannya sebagai kerajaan maritim.  Karena banyak kapal asing yang singgah ke wilayah ini untuk menambah perbekalan dan melakukan perdagangan.  Dengan demikian maka Sriwijaya semakin berkembang dan mendapatkan keuntungan besar.

Dalam dunia perdagangan, Sriwijaya menjual berbagai macam barang produksinya seperti emas, perak, penyu, gading, kemenyan, kapur barus, lada, dan juga damar.  Para pedagang asing menukar barang-barang tersebut dengan kain sutera, kain katun, dan aneka macam porselin.

Berikut ini adalah faktor-faktor yang mendukung kemajuan dan perkembangan Sriwijaya:
  • Letaknya sangat strategis karena berada di jalur perdagangan India-Cina.
  • Sriwijawa berhasil menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, Semenanjung Malaya dan Tanah Genting Kra yang dikenal sebagai pusat perdagangan.
  • Hasil bumi Sriwijaya dan sekitarnya merupakan mata perdagangan yang sangat berharga, terutama berupa rempah-rempah dan emas.

Hal ini sangat sesuai dengan berita I-Tsing pada awal abad ke-8 yang menyebutkan bahwa di Sriwijaya terdapat 1.000 pendeta yang belajar Agama Buddha di bawah bimbingan pendeta Buddha yang sangat terkenal, yaitu Sakyakirti.  

Selain itu, pemuda-pemuda di Sriwijaya juga mempelajari Agama Buddha dan ilmu lainnya di India.  Hal ini didukung oleh adanya Prasasti Nalanda yang menyebutkan bahwa Raja Sriwijaya, Balaputra Dewa memiliki hubungan yang sangat erat dengan Raja Dewa Pala Dewa dari India.

Kerajaan Sriwijaya juga dikenal dengan kemajuan di bidang budaya yang bisa dilihat dari berbagai macam peninggalannya.  Diantaranya adalah stupa, candi atau patung Buddha yang ditemukan di wilayah Jambi, Muaratakus, Gunung Tua (Padang Lawas) dan Bukit Siguntang (Palembang).  Kondisi ini juga menjadi bukti bahwa kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat di kerajaan Sriwijaya sudah sangat makmur.

Dalam berita Cina (Chau-Ya-Kua) disebutkan bahwa Kerajaan Sriwijaya mulai mengalami kemunduran pada akhir abad ke-12.  Hal ini dikuatkan dengan adanya kitab sejarah dari Dinasti Sung yang menyebutkan bahwa Kerajaan Sriwijaya mengirimkan utusan terakhir pada tahun 1178.

Berikut ini adalah beberap faktor penyebab kemunduran Sriwijaya:
  • Diserang oleh Kerajaan Colamandala dari India secara berulang kali.
  • Beberapa daerah melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya, diantaranya adalah Ligor, Tanah Kra, Jambi, Kelantan Pahang, dan Sunda.
  • Terdesak dengan adanya perkembangan Kerajaan Thailand yang melakukan perluasan ke arah selatan (Semenanjung Malaya).
  • Terdesak oleh pengaruh Kerajaan Singasari yang memiliki hubungan dengan Kerajaan Melayu di Jambi.
  • Perekonomian dan perdagangan di Sriwijaya yang mengalami kemunduran karena beberapa bandar pentingnya melepaskan diri dari Sriwijaya.
  • Kemungkinan tidak adanya tokoh pemimpin Kerajaan Sriwijaya yang cakap dan berwibawa.


Referensi:
Suparno, Drs. 2018. Modul Pendamping Sejarah Indonesia untuk SMK/SMA Kelas X Semester 1.  Klaten Utara: Mulia Group.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel