Perkembangan Budaya Pra-Aksara di Indonesia Lengkap dengan Penjelasannya : Zaman Palaeolithikum, Mesolithikum, Neolithikum, Megalithikum, Zaman Logam

Wawasan Pendidikan; Masa praaksara merupakan masa dimana manusia belum mengenal tulisan.  Perkembangan masa praaksara terjadi pada semua suku bangsa yang ada di dunia dengan periode yang berbeda.  Pada masa ini juga ditemukan hasil budaya praaksara yang cukup beragam. Beberapa peninggalan kebudayaan masa praaksara bahkan masih bisa ditemukan di lingkungannya.  Lalu bagaimana perkembangan kebudayaan pada masa praaksara di Indonesia?  Berikut ini adalah penjelasan lengkapnya. (Baca Juga : Hasil Budaya Masyarakat Pra Aksara)

Perkembangan Budaya Pra-Aksara di Indonesia Lengkap dengan Penjelasannya :  Zaman Palaeolithikum, Mesolithikum, Neolithikum, Megalithikum, Zaman Logam

Secara garis besar, ada dua jenis kebudayaan praaksara yang dihasilkan yaitu Kebudayaan Material (Kebendaan) dan Kebudayaan Immaterial (Rohani)

Kebudayaan Material (Kebendaan)

Kebudayaan material bisa diartikan sebagai hasil kebudayaan praaksara yang bisa digunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya.  Adapun kebudayaan manusia purba dibagi menjadi 5 zaman, yaitu Palaeolithikum, Mesolithikum, Neolithikum, Megalithikum, dan Zaman Logam.

1.       Palaeolithikum (Zaman Batu Tua)

Berdasarkan penemuan fosil, jenis manusia purba yang hidup pada zaman Palaeolithikum adalah Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus, dan Homo Soloensis yang ditemukan di aliran Sungai Bengawan Solo.

Ciri-ciri masyarakat di Zaman Palaeolithikum adalah nomaden, sangat tergantung pada alam sekitar, menggunakan alat-alat yang masih sangat sederhana, dan menggunakan bahasa yang sederhana untuk berkomunikasi.

Alat yang dihasilkan pada zaman Palaeolithikum adalah: kapak genggam, kapak perimbas, alat-alat dari tulang binatang, tanduk rusa dan flakes.

Adapun berdasarkan daerah penemuannya, alat kebudayaan zaman Palaeolithikum dikelompokkan menjadi dua kebudayaan, yaitu:
  • Kebudayaan Pacitan
Alat batu dan kapak genggam ditemukan oleh Koeningswald pada tahun 1935 di Pacitan.  Kapak genggam yang ditemukan berbentuk kapak namun tidak bertangkai dan masih dikerjakan dengan sangat kasar (belum dihaluskan).  Para ahli menyebut alat ini sebagai kapak penetak.

Selain di Pacitan, hasil budaya masyarakat praaksara juga ditemukan di Progo dan Gombong, Jawa Tengah, Sukabumi (Jawa Barat) dan Lahat di Sumatera Utara.  Alat yang ditemukan berupa kapak genggam dan alat penetak. 

Alat-alat tersebut ditemukan pada lapisan yang sama dengan ditemukannya fosil manusia purba Pithecanthropus Erectus sehingga dianggap sebagai manusia pendukung kebudayaan Pacitan.
  • Kebudayaan Ngandong
Di Ngandong dan Sidoarjo, Jawa Timur para ahli menemukan alat tulang, flakes (alat serpih), alat penusuk dari tanduk rusa, dan ujung tombak bergerigi.  Sementara di dekat Sangiran ditemukan alat sangat kecil terbuat dari batuan indah seperti kalsedon yang disebut “serbih pilah” dan banyak ditemukan di wilayah Cabbenge, Sulawesi Selatan.

Kebudayaan Ngandong juga didukung dengan penemuan lukisan dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan di Goa Leang Pattae, Sulawesi Selatan.

Peralatan yang ditemukan adalah flakes (alat serpih) berupa pisau, peralatan dari tulang dan tanduk berupa belati, mata tombak bergerigi, alat pengorek ubi, tanduk rusa, dan duri ikan yang diruncingkan.

Manusia pendukung kebudayaan Ngandong adalah Homo Soloensis dan Homo Wajakensis karena ditemukan pada lapisan yang sama dengan peralatan kebudayaan Ngandong.

Secara umum alat yang dihasilkan pada zaman Palaeolithikum adalah:
  • Kapak genggam
Jenis alat ini disebut sebagai chopper (alat penetak/pemotong) dan banyak ditemukan di wilayah Pacitan.  Disebut dengan kapak genggam karena bentuknya menyerupai kapak meskipun tidak bertangkai, cara menggunakannya adalah dengan digenggam. 

Cara pembuatannya adalah dengan memangkas salah satu sisi batu sampai tajam sementara sisi lainnya dibiarkan apa adanya sebagai tempat untuk menggenggam.  Fungsi dari alat kapak genggam adalah untuk menggali umbi-umbian, memotong, dan menguliti binatang.
  • Kapak perimbas
Jenis alat ini paling banyak ditemukan di wilayah Pacitan sehingga Koeningswald menyebutnya sebagai Kebudayaan Pacitan.  Selain di Pacitan, kapak perimbas juga ditemukan di wilayah Gombong (jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), Lahat (Sumatera Selatan), dan Gua Choukoutieen (Beijing).  Fungsinya adalah untuk merimbas kayu, memahat tulang, dan sebagai senjata.
  • Alat-alat dari tulang binatang dan tanduk rusa
Jenis alat ini merupakan hasil kebudayaan Ngandong, kebanyakan berupa alat penusuk atau belati dan ujung tombak yang bergerigi.  Fungsinya adalah untuk menangkap ikan dan mengorek ubi atau keladi dari dalam tanah.
  • Flakes
Hasil kebudayaan praaksara ini merupakan alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon.  Fungsinya adalah untuk mengupas makanan.  Sama seperti alat-alat tulang, alat ini merupakan hasil kebudayaan Ngandong.  Selain untuk mengupas makanan, flakes juga digunakan untuk berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan

2. Mesolithikum (Zaman Batu Tengah)
Pada zaman ini ada dua tempat  penemuan alat, yaitu:
  • Di bukit-bukit kerang pinggir pantai yang disebut dengan “kjokkenmodinger” (sampah dapur), istilah ini dari kata “kjokken” atau dapur dan “modinger” atau sampah.  Atau bisa diartikan sebagai tumpukan kulit kerang dan siput yang telah membatu dan banyak ditemukan di pinggir pantai.  Jenis alat yang ditemukan berupa kapak genggam (pebble: kapak Sumatera), pipisan (batu penggilingan), dan kapak pendek (hache courte)
  • Di gua-gua yang disebut dengan “Abris Sous Roche” atau tumpukan dari sisa makanan yang telah membatu di dalam gua.  Jenis alat yang ditemukan berupa flakes (alat serpih), ujung mata panah, pipisan (batu penggilingan), kapak, alat-alat dari tulang, dan tanduk rusa.  Alat-alat tersebut ditemukan di Gua Lawa, Sampung, Jawa Timur atau dikenal dengan istilah Sampung Bone Culture, yaitu kebudayaan Sampung yang terbuat dari tulang.  Manusia yang mendukung kebudayaan Mesolithikum ini adalah bangsa Papua-Melanosoid.
 Tiga bagian penting dalam Kebudayaan Mesolithikum adalah:
  • Peble Culture, yaitu alat kebudayaan berupa kapak genggam yang ditemukan di kjokkenmodinger.
  • Bone Culture, yaitu alat kebudayaan dari tulang.
  • Flakes Culture, yaitu hasil kebudayaan berupa alat serpih yang ditemukan di Abris Sous Roche.
Ciri-ciri masyarakat pada Zaman Mesolithikum adalah:
  • Sudah tidak bersifat nomaden, sudah memiliki tempat tinggal semi permanen seperti di gua dan di pantai.
  • Sudah memiliki kemampuan dalam bercocok tanam walaupun masih terbilang sederhana.
  • Sudah memiliki kemampuan untuk membuat kerajinan gerabah.
  • Food gathering. 
3.  Neolithikum (Zaman Batu Muda)

Salah satu ciri khas dari zaman Batu Muda ini adalah penggunaan alat-alat batu yang sudah diasah dengan halus.  Selain itu, masyarakat pada zaman ini juga sudah mengenal bercocok tanam dan beternak, serta mulai mengembangkan gotong royong.

Pada zaman ini mulai terjadi revolusi kehidupan berupa perubahan dari kehidupan nomaden dan food gathering menjadi sedenter atau pol hidup menetap dengan food producing.

Berdasarkan peralatannya kebudayaan pada zaman Neolithikum dibedakan menjadi kebudayaan kapak persegi dan kapak lonjong (menurut Heine Geldern), berdasarkan pada penampang yang berbentuk persegi panjang dan lonjong.

Beberapa peninggalan budaya Neolithikum adalah:
  • Kapak persegi, seperti beliung, cangkul, dan tatah untuk mengerjakan kayu.  Jenis alat ini ditemukan di wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Alat dengan ukuran besar disebut beliung yang berfungsi sebagai cangkul sementara alat dengan ukuran kecil disebut tarah atau tatah digunakan sebagai alat pahat untuk memahat kayu.. Selain menggunakan bahan batu biasa, pembuatan kapak juga menggunakan batu api atau chalcedon.  Penggunaan batu api dalam pembuatan kapak kemungkinan untuk keperluan upacara keagamaan, jimat atau tanda kebesaran.
  • Kapak bahu, seperti halnya kapak persegi hanya di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher.   Alat ini hanya ditemukan di wilayah Minahasa.
  • Kapak Lonjong, ditemukan di wilayah Papua, Seram, Gorong, Minahasa, Tanimbar, Leti, dan Serawak.  Fungsinya adalah sebagai cangkul.
  • Perhiasan berupa gelang dan kalung dari batu yang indah, ditemukan di wilayah Jawa.
  • Pakaian yang terbuat dari kulit kayu.
  • Tembikar berupa periuk belanga, ditemukan di wilayah Jawa, Sumatera, dan Melolo (Sumba).
4.  Megalithikum (Zaman Batu Besar)
Disebut dengan megalithikum karena hasil kebudayaan pada masa ini berbentuk bangunan atau monumen yang terbuat dari batu dan berukuran besar.  Kebudayaan ini muncul pada akhir zaman Neolithikum namun perkembangannya justru terjadi pada zaman perunggu (Kebudayaan Dongson). Menurut R. Von Heine Geldern, tradisi dan budaya megalitik masuk ke Indonesia dalam dua periode, yaitu: 
  • Megalitik Tua, yang berlangsung sekitar 2.500-1.500 SM dan dibawa oleh pendukung kebudayaan bercocok tanam.
  • Megalitik Muda, yang berlangsung sekitar 1.000 SM dan dibawa oleh pendukung kebudayaan Dongson.
Ciri-ciri kebudayaan masyarakat praaksara di zaman Megalithikum:
  • Masyarakat di zaman ini sudah menganut kepercayaan animisme, dinamisme, dan totemisme.
  • Sudah mengenal budidaya atau peternakan binatang.
  • Adanya kehidupan politik yang masih bersifat kesukuan.
  • Memiliki sistem dan praktik bercocok tanam yang semakin berkembang dan menetap.
  • Sistem sosial yang semakin berkembang.
  • Memiliki ketergantungan dengan alam.
  • Membuat bangunan atau monumen dari batu besar.
Bentuk-bentuk kebudayaan megalithikum di Indonesia sangat erat kaitannya dengan kepercayaan nenek moyang.  Dimana upacara maupun ritual kepecayaan menjadi bagian dari kebudayaan di zaman Megalithikum.  Berikut ini adalah beberapa hasil kebudayaan masyarakat praaksara di Zaman Megalithikum:
  • Menhir
Hasil budaya masyarakat praaksara ini berupa tugu batu yang tegak dan berfungsi sebagai tempat pemujaan dan penghormatan kepada roh nenek moyang.  Menhir serupa dengan dolmen maupun cromlech yang berasal dari periode Neolithikum dan banyak ditemukan di Inggris, Irlandia, Perancis, Spanyol, dan Italia.
  • Dolmen/Stonehenge
Dolmen merupakan bangunan yang terbuat dari batu besar dengan bentuk pipih dan horizontal.  Biasanya dolmen ditempatkan di lokasi yang sering digunakan untuk upacara pemujaan terhadap leluhur.  

Fungsinya adalah sebagai tempat untuk sesaji dan pemujaan terhadap roh nenek moyang.  Pada bagian bawah dolmen juga sering digunakan untuk meletakkan mayat dengan kaki meja dari batu yang rapat untuk melindungi mayat dari binatang buas.  Dolmen banyak ditemukan di daerah Besuki, Jawa Timur dan dikenal dengan istilah pandhusa.
  • Sarkofagus
Keranda zaman Megalithikum ini terbuat dari batu utuh dengan bentuk menyerupai lesung yang diberi tutup.  Pada bagian dinding muka biasanya tedapat ukiran berbentuk manusia atau binatang yang dianggap memiliki kekuatan magis.  Sarkofagus banyak ditemukan di wilayah Bali dan Bondowoso, Jawa Timur. 
  •  Kubur Batu
Hasil budaya Zaman Megalithikum ini berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan jenazah disertai bekal kuburnya.  Bentuknya menyerupai bangunan kuburan dan terbuat dari batu besar yang masing-masing papan batunya lepas satu sama lain.  Kubur batu ditemukan di wilayah Bali, Pasemah (Sumatera Selatan, Cepu (Jawa Tengah), Wonosari (Yogyakarta), dan Cirebon (Jawa Barat).
  • Punden Berundak
Merupakan peninggalan Zaman Megalithikum yang menyerupai struktur bangunan dengan susunan bertingkat atau undak-undakan yang memotong lereng bukit.  Punden berundak bisa ditemukan di Pagguyangan Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat.  Punden berundak juga digunakan pada periode selanjutnya seperti yang terlihat pada Candi Borobudur dan Kompleks Makam Raja Mataram.
  • Arca Batu
Peninggalan masyarakat praaksara ini berupa patung dari batu yang biasanya berbentuk manusia atau binatang seperti gajah, harimau, kerbau, dan monyet.  Salah satunya adalah Arca Batu Gajah yang ditemukan di Pasemah (Sumatera Selatan).  Peninggalan lainnya ditemukan di Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
  • Waruga
Bangunan ini merupakan makam batu dari leluhur masyarakat Minahasa yang terdiri dari dua bagian.  Yaitu bagian berbentuk segitiga yang pada bagian bawahnya berbentuk kotak dengan ruang di tengah sebagai tempat untuk menyimpan jenazah.
  • Batu Lumpang
Hasil kebudayaan Megalithikum ini berbentuk batu memanjang dengan cekungan di bagian tengahnya.  Fungsinya adalah sebagai tempat untuk mengolah makanan sebagai persembahan kepada leluhur.  Batu lumpang ditemukan di Situs Pasir Lulumpang, Garut dan Situs Patakan di Lamongan, Jawa Timur.

Selain itu ada juga peninggalan zaman Megalithikum berupa Batu Dakon dengan beberapa cekungan di permukaannya, serta Batu Kenong dengan bentuk bulat dan menonjol pada bagian atasnya.

Beberapa situs Megalithikum di Indonesia bisa ditemukan di beberapa wilayah, diantaranya adalah Situs Pasemah di Sumatera Selatan, Situs Gunung Padang di Cianjur, dan Situs Kampung Bena di NTT.

5.  Zaman Logam
Zaman Logam dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Zaman Tembaga, yaitu zaman ketika manusia menggunakan alat-alat yang terbuat dari tembaga untuk membantu kebutuhan hidupnya.
b. Zaman Perunggu Perunggu merupakan perpaduan antara tembaga dan timah.  Cara pembuatan alat dengan menggunakan perunggu ada dua, yaitu:
  • Bivalve
Cara ini dilakukan dengan menggunakan cetakan dari batu yang terdiri dari dua bagian dan diikat menjadi satu.  Lelehan logam kemudian dituang ke dalam cetakan dan ditungggu sampai mengeras.  Setelah keras, cetakan dibuka dan bisa digunakan untuk mencetak lagi.
  • A Cire perdue (cara tuangan lilin)
Cara ini dilakukan dengan membuat model benda dari lilin kemudian dibungkus tanah liat dan bagian atasnya diberi lubang.  Kemudian dibakar hingga lapisan lilin meleleh melalui lubang. 

Dari bagian lubang kemudian dituangkan lelehan logam sampai penuh dan ditunggu sampai mengeras.  Setelah keras, tanah liat dipecahkan dan hasil cetakan logam dirapikan.  Pada teknik ini alat hanya bisa digunakan satu kali saja.

Beberapa alat hasil budaya pada zaman perunggu adalah:
  • Kapak Corong atau kapak perunggu yang digunakan sebagai alat perkakas dan banyak ditemukan di wilayah Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi, Kepulauan Selayar, dan Papua.
  • Candrasa, yaitu alat perunggu yang dilengkapi dengan hiasan.  Biasanya digunakan sebagai tanda kebesaran kepala suku dan sarana untuk upacara keagamaan.
  • Nekara Perunggu (moko), bentuknya seperti dandang dan berfungsi untuk upacara keagamaan, sebagai mas kawin, dan ritual meminta hujan.  Untuk keperluan ini nekara yang digunakan diberi hiasan katak pada bagian atasnya.  Nekara perunggu banyak ditemukan di wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Sumbawa, Kepulauan Selayar, Rote, Leti, dan Kepulauan Kei.
  • Bejana Perunggu, bentuknya seperti periuk namun lebih gepeng.  Jenis alat ini ditemukan di wilayah tepi Danau Kerinci dan Madura.
  • Arca Perunggu, bentuknya cukup bervariasi ada yang berbentuk manusia maupun binatang.  Biasanya arca perunggu dibuat dalam ukuran kecil dan dilengkapi semacam kolong pada bagian atasnya sebagai tempat untuk menggantungkan arca.  Peninggalan arca perunggu ditemukan di wilayah Palembang, Bangkinang di Riau dan di Limbangan, Bogor.
  • Perhiasan, bentuknya sangat beranekaragam mulai dari cincin, kalung, gelang tangan, gelang kaki, hingga liontin.  Diantara bentuk perhiasan yang ditemukan terdapat semacam cincin dengan ukuran yang sangat kecil dan diperkirakan sebagai alat tukar atau mata uang.  Jenis hasil budaya dari perunggu ini ditemukan di Bogor, Malang, dan Bali.
c. Zaman Besi Pada masa ini,masyarakat praaksara sudah mengenal pembuatan alat dengan cara melebur besi untuk menghasilkan alat-alat yang dibutuhkan.  Diantaranya adalah mata kapak yang dikaitkan pada tangkai kayu, mata sabit untuk menyabit tumbuh-tumbuhan, mata pisau, mata pedang, cangkul, dll.  Hasil budaya pada zaman besi banyak ditemukan di wilayah Gunung Kidul (Yogyakarta), Besuki dan Punung di Jawa Timur, dan di Bogor.

Hasil budaya berupa alat-alat untuk memenuhi kebutuhan hidup di atas merupakan Kebudayaan Material.  Selain kebudayaan material, masyarakat praaksara juga memiliki kebudayaan immaterial.
Kebudayaan Immaterial

Kebudayaan Immaterial atau Rohani ditandai dengan munculnya sistem kepercayaan dalam kehidupan manusia yang telah berlangsung sejak masa berburu dan mengumpulkan makanan yaitu berupa penghormatan kepada orang yang meninggal. 

Pada masa bercocok tanam, kepercayaan berubah menjadi pemujaan kepada roh leluhur (animisme dan dinamisme) yang terlihat dari hasil kebudayaan megalitik.  Dalam perkembangan selanjutnya, manusia mulai menyadari adanya kekuatan yang Maha Besar di luar diri manusia yaitu kekuatan Tuhan (monoisme).

Referensi: 
Suparno, Drs. 2018. Modul Pendamping Sejarah Indonesia untuk SMK/SMA Kelas X Semester 1.  Klaten Utara: Mulia Group.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel