Makalah Sosiologi tentang Pelaksanaan Hukum di Indonesia

wawasanpendidikan.com ; yah.. kali ini sobat pendidikan lagi-lagi berbagi makalah sosiolog. nanun tema pada makalah kali ini adalah bagaimana Pelaksanaan Hukum di Indonesia. untuk lebih jelas silahkan baca post dibawah ini.

 Makalah Sosiologi tentang Pelaksanaan Hukum di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ilmu sosiologi, hukum merupakan salah satu bentuk norma. Norma hukum sendiri memiliki kekuatan yang kuat dikarenakan adanya lembaga pelaksana hukum yang sah dan dibentuk oleh pemerintah yaitu aparat penegak hukum (missal kepolisian). Hukum seperti halnya di Indonesia berasal atau bersumber dari sesuatu yang kuat seperti halnya hukum di Indonesia yang mengacu pada Undang-undang Dasar. Selain itu, sanksi yang diberikan dalam pelanggaran norma hukum juga tegas serta bersifat mengikat pelakunya. Oleh sebab itu, hukum merupakan norma tertinggi dalam masyarakat.Berbicara mengenai hukum, tentunya tidak akan lepas dari aparat penegak hukum yang menjalankan hukum itu sendiri. Karena sejatinya proses pelaksanaan hukum akan dijalankan oleh aparat penegak hukum. Dalam makalah ini, kita akan membahas mengenai pelaksanaan hukum. Bagaimana proses pelaksanaan hukum, termasuk pelaksanaan hukum di Indonesia juga menjadi bahan kajian dalam makalah ini.
Pelaksanaan hukum sendiri lebih menekankan pada bagaimana sebuah hukum yang dibuat dapat dijalankan atau diaplikasikan dalam masyarakat. Mengapa membicarakan bagaimana hukum dijalankan dalam masyarakat, karena memang sejatinya hukum dibuat untuk mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Selain untuk mengatur kehidupan masyarakat, hukum juga dibuat sebagai pedoman bertingkah laku manusia agar menciptakan kehidupan yang aman dan tenteram. Hukum sendiri berlaku apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum yang sudah ada. Hukum bersifat mengikat setiap anggota masyarakat. Ketika berumur 17/18 tahun, maka seseorang dianggap sudah sadar hukum sehingga hukum sudah mengikat individu tersebut. Dengan demikian, maka pelaksanaan hukum dapat dijalankan dengan baik pada anggota masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan hukum di Indonesia?
2. Bagaimana bentuk kejanggalan pelaksanaan hukum di Indonesia?
3. Apa contoh analisis study kasus pelaksanaan hukum di Indonesia?

C. Tujuan 
1. Mengetahui praktek pelaksanaan hukum di Indonesia.
2. Mencari tahu bentuk kejanggalan pelaksanaan hukum di Indonesia.
3. Mencari contoh analisis study kasus pelaksanaan hukum di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pelaksanaan Hukum di Indonesia
Meskipun secara normatif dan ideal-konstitusional Indonesia adalah negara hukum yang berasaskan kedaulatan rakyat, implementasinya dalam praktik, baik pada masa kini maupun masa depan, tergantung pada budaya hukum dan politik yang berkembang di masyarakat. Memang, ada semacam mitos konstitusionalisme yang berkembang di banyak negara, termasuk di Indonesia, bahwa dengan memiliki sebuah dokumen konstitusi yang menjamin tegaknya negara hukum, maka segala persoalan akan selesai dengan sendirinya. Sebuah negara hukum menghendaki orientasi kepada ketentuan-ketentuan hukum dan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya.


Namun di Indonesia sendiri, orientasi kepada hukum sering diabaikan. Karena lemahnya orientasi kepada hukum, maka konstitusi dan aturan-aturan hukum yang dilahirkan cenderung berubah menjadi alat pengabsah suatu tindakan, entah itu tindakan penyelenggara negara maupun rakyat itu sendiri. Tentu, yang lebih banyak terjadi adalah hukum dijadikan pengabsah bagi penguasa untuk membenarkan tindakannya, bukan sarana efektif mengubah menjadi wewenang yang sah. Tidak ada warisan budaya hukum yang kuat dari masa lalu, baik dari kerajaan-kerajaan nusantara, apalagi dari pemerintah kolonial yang memang tidak diharapkan akan sungguh-sungguh menerapkan hukum secara adil dan fair, kecuali sebagai sarana untuk melestarikan kolonialismenya. Sementara itu pada zaman revolusi, hukum cenderung diabaikan. Hal-hal tersebut merupakan faktor yang secara kualitatif ikut mempengaruhi lemahnya orientassi masyarakat Indonesia kepada negara hukum (Yusril Ihza Mahendra, 1996: 44).

Pemerintah orde baru, yang pada awal kelahirannya menegaskan akan melakukan koreksi total terhadap penyelewengan-penyelewengan di masa orde lama, kemudian bertekad melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, semakin lama semakin bergerak ke arah yang konservativ. Konstitualisme, yang semula dijunjung tinggi, berubah menjadi mitos. Konstitusi kurang dilihat dengan cara pandang rasional sebagi aturan-aturan dasar yang bercorak negatif tentang cara penyelenggaraan negara, tapi lebih dilihat sebagai dokumen sakral yang seolah-olah “disucikan”. Demikian “sakralnya” dan “suci” sehingga jarang “disentuh”, kecuali hanya disebut di dalam pidato-pidato para pejabat, baik resmi maupun tidak resmi. Dan semakin ia disebut-disebut, terdapat kecenderungan bahwa orang semakin melupakan kandungannya. Pancasila dan UUD 1945 kemudian cenderung berubah fungsi sebagai mitos sakral pengabsahan kekuasaan, bukan merupakan suatu tuntutan moral politik yang membimbing perjalanan politik menuju arah tertentu, dan bukan pula sebagai roh dasar membatasi kekuasaan. Oleh karena itu produk-produk legislatif cenderung justru menjadi sarana rekayasa politik untuk menjamin stabilitas kekuasaan seperti terlihat di dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR dan DPRD, UU Pemilu dan undang-undang tentang Partai Politik dan Golongan Karya. 


Kecenderungan orientasi kepada negara kekuasaan, ketika kewajiban-kewajiban rakyat lebih dituntut dan hak-haknya dikurangi, sebaliknya kewajiban-kewajiban penyelenggara nega diperkecil dan hak-haknya diperbesar, merupakan salah satu kendala mencapai tegaknya cita-cita negara hukum di masa sekarang dan masa depan (Yusril, 1996: 44). Hukum (konstitusi), dibuat adalah untuk membatasi kekuasaan dalam negara. Perkataan kekuasaan di sini sama dengan power, masalah kekuasaan dalam negara (the power of the state) banyak dibicarakan oleh sarjana-sarjana ilmu politik, dan kekuasaan itu sendiri cenderung dengan politik (Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, 1998: 77). Politik pada umumnya diberi berbagai arti seperti: (1) kebijakan, (2) seni memanage kekuasaan dan (3) cara, akal dan taktik. Intinya adalah mempengaruhi orang lain agar dapat bertingkah laku sesuai dengan kehendak mempengaruhi yakni orang mempunyai kekuasaan. Sumber kekuasaan meliputi ilmu, ekonomi, dan wibawa. Atau dalam arti lain, bahwa kekuasaan adalah perjuangan memperoleh kekuasaan biasanya terkait erat atau terkait atau disertai ideologi agar menjadi dasar di bidang politik. Maksudnya agar ideologinya menjadi dasar kekuasaan. Atau minimal tafsir menurut versinya untuk dipergunakan dan manajemen kekuasaan (Moh. Mahfud, 1998: 1).


Oleh karena kekuasaan identik dengan politik, atau setidaknya karena politik atau setiap aktivitas politik selalu bertujuan untuk mencapai kekuasaan, maka dapat dibuat satu analogi: Politik Tends to Corupt. Politik itu punya kecenderungan untuk korup/disalah gunakan. Oleh karena itu, agar kekuasaan itu tidak liar dan tidak disalah gunakan, maka hukum harus mengendalikan kekuasaan itu (Dahlan Thaib, 1999: 77-78). Suatu hal yang tidak dapat disangkal betapapun ketatnya hukum, dengan segala macam aturan permainan, etika dan semacamnya, namun akhirnya, hukum tidak berdaya apabila menghadapi power play yang tidak mengindahkan hukum. Salah satu contoh kasus yang dapat dipetik dari fenomena ini adalah dengan melihat kasus dalam menjatuhkan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), melalui sidang istimewa.


Kasus tersebut terlihat jelas bahwa bagaimana permainan politik (power play) sangat mendominasi dalam prosesi hukum. Atau dalam pandangan Prof. Dr. Mahfud MD kasus tersebut memberi kesan mempermainkan prosedural-konstitusional. Sebab, menurut Tap MPR No. III/MPR/1978, untuk mengeluarkan memorandum I saja syaratnya adalah bahwa presiden telah sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Sedangkan dalam memorandum I dari DPR hanya menyebut Presiden “patut diduga ikut berperan” dalam kasus Yanatera Bulog maupun dana bantuan Sulatan Brunai. Kalau kesimpulannya hanya “patut diduga ikut berperan”, berarti belum ada bukti dan kesimpulan bahwa presiden “sungguh-sungguh melanggar haluan negara”. Istilah “patut diduga ikut berperan”, menurut Dr. Mahfud MD, bisa saja diartikan melakukan kelalaian teknis-administratif, bukan melakukan kesalahan yuridis (Moh Mahfud, 2003: 113).


Kasus ini menjadi salah satu contoh dari banyaknya kasus-kasus yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan kita di Indonesia, dalam bingkai bagaimana sesungguhnya kita melihat hukum disalahgunakan dalam praktik-praktik pengambilan keputusan politik. Oleh karenanya, maka demi tegaknya hukum dan demi terlaksananya cita-cita negara hukum dan demokrasi yang selaras dengan tujuan negara kita, maka tegasnya, dalam praktik penyelenggaraan negara, ketentuan-ketentuan hukum harus dihormati, harus ditegakan oleh pemerintah atau penyelenggara negara (Dahlan Thaib, 1999: 78).


Menurut Prof. Dr. Dahlan Thaib, dalam negara hukum Indonesia, tidak boleh terjadi hukum berdiri pada sisi lain, sementara kekuasaan dengan angkuhnya seolah-olah menantang hukum di sisi lain. Menurutnya hal demikian itu tentu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum, yang diamanatkan dalam konstitusi kita UUD 1945. Karena itu, komitmen yang telah disepakati pada awal Orde Baru hendaknya selalu diusahakan untuk dipatuhi dalam praktik ketatanegaraan, sehingga dengan demikian prinsip rule of law dapat benar-benar ditegakkan. Jadi, bukan rule of law yang dipertahankan.

B.    Kejanggalan Pelaksanaan Hukum di Indonesia
Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum. Hukum digunakan sebagai control terhadap masyarakat agar tidak melakukan tindakan negative yang melanggar hukum. Hukum juga berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan tenteram sesuai dengan tatanan negara hukum. Dalam pelaksanaan hukum di Indonesia, biasa dilaksanakan oleh aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan Mahkamah Agung. Meskipun Indonesia adalah negara hukum, dalam kenyataanya masih banyak potret kelam pelaksanaan hukum di negara ini. System tebang pilih agaknya masih menjadi andalan dari penegak hukum di Indonesia utamanya polisi/POLRI. Praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme atau akrab kita sebut dengan KKN masih tersu saja membayang-bayangi praktek pelaksanaan hukum yang bersih. Ada banyak kasus yang membuktikan bahwa praktek pelaksanaan hukum kita masih buruk.


Beberapa waktu lalu kita pernah mendengar kasus bahwa ada seorang nenek yang mencuri 3 biji cacau yang harus dihukum berat oleh pengadil akibat tindakannya tersebut. selain itu juga ada kasus seorang anak usia dibawah 5 tahun yang mencuri sandal jepit milik anggota polisi juga harus dikenai hukuman berat meskipun selanjutnya hukuman itu ditangguhkan. Bertolak belakang dengan nasib sang nenek dan anak pencuri sandal jepit, para anggota Dewan yang terlibat kasus korupsi ternyata masih bisa merasakan hidup nyaman di penjara. Hidup dengan fasilitas seperti hotel seperti kamar dengan fasilitas AC, Home theatre serta dispenser, mendapat keistimewaan dari aparat penegak hukum. Sungguh hal ini menjadi sebuah ironi tersendiri.


Muncul pula anggapan bahwa hukum tidak akan mempan bagi mereka yang punya banyak uang dan punya kekuasaan. Misalnya saja dalam kasus Rasyid Rajasa yang mana dia telah menghilangkan nyawa orang dalam insiden kecelakaan maut, dan dia adalah sebagai pelakunya. Akan tetapi nyatanya dia hanya mendapat hukuman ringan karena alasan bahwa sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan kasus dengan damai. Berbeda pada kasus sebelumnya yang melibatkan sopir angkot, dimana penumpangnya melompat dari angkot karena takut akan diperkosa. Pada akhirnya sang sopir angkot mendapatkan hukuman berat.  


Kasus lain yang masih sangat kita ingat adalah kasus Gayus Tambunan. Koruptor yang menyengsarakan rakyat, mengambil uang negara, ternyata masih bisa berlibur di Bali meskipun statusnya sebagai tersangka. Dan kasus yang mungkin sudah sering kita temui di lapangan adalah praktek Korupsi oleh polisi lalu lintas yang biasanya dengan mudah membebaskan pelaku pelanggar lalu lintas asalkan mau membayar uang sesuai yang diminta oleh oknum polisi tersebut. Banyaknya ketidak adilan dalam pelaksanaan hukum di Indonesia telah mampu membuat potret kelam pelaksanaan hukum di Indonesia. Diluar kasus tadi, masih banyak sekali kasus yang lain. Karena realita yang ada, bahkan sempat muncul anggapan bahwa orang miskin dilarang melanggar hukum karena akan mendapat sanksi berat dari aparat penegak hukum. Berbeda dengan orang kaya yang dapat menggunakan kekayaannya untuk membela diri, menghindar dari jeratan hukum.


Yang mengkhawatirkan adalah ketika masyarakat tidak lagi percaya terhadap para penegak hukum di Indonesia. Hukum yang semula berfungsi sebagai pedoman hidup yang aman dan tenteram dalam masyarakat, justru tidak lagi ditaati masyarakat akibat praktek pelaksanaan yang buruk. Untuk itu sangat penting untuk selalu mengoreksi kekurangan dalam segala praktek pelaksanaan hukum di Indonesia agar hukum dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

C.    Analisis Studi Kasus Pelaksanaan Hukum di Indonesia
1.    Kasus tugu tani afriani
Berikut kronologi aktivitas Afriyani menurut Nugroho: Sabtu 21 Januari Pukul 20.00 WIB-22.00 WIB Afriyani dan 3 temannya, Deny Mulyana (30), Adistria Putri Grani (26) dan Arisendi (34) meluncur menuju Hotel Borobudur. Mereka menghadiri pernikahan temannya. Selama 2 jam, mereka berada di hotel di kawasan Jl Lapangan Banteng itu. Pukul 22.00 WIB Afriyani Cs bergerak meninggalkan Hotel Borobudur. Mereka pergi ke sebuah tempat hiburan di Kemang, Jaksel. Di klub malam ini dia dan teman-temannya menghabiskan malam dengan menenggak Whiskey dan bir hitam hingga dini hari. Minggu 22 Januari Pukul 02.00 WIB Afriyani dan rekan-rekannya bergerak meninggalkan Kemang Pukul 02.30 WIB Afriyani dan rekan-rekannya tiba di Klub Malam Stadium. Di tempat parkir dia sempat membeli 2 butir ekstasi seharga Rp 400 ribu. 2 Butir ekstasi dia bagi bersama rekan-rekannya. Pukul 02.30 WIB-10.00 WIB. Puas menikmati narkoba serta minuman keras, Afriyani dan rekan-rekannya pergi meninggalkan Stadium. Mereka bergerak menuju Tugu Tani. 10.00 WIB-11.00 WIB Melintas di Tugu Tani, Afriyani kehilangan kendali dan kendaraan yang dibawanya Xenia bernopol B 2749 XI menabrak belasan pejalan kaki. 8 Pejalan kaki tewas di tempat dan 1 orang meninggal di rumah sakit dan 3 lainnya mengalami luka-luka.


Dalam kasus ini jaksa menuntut tersangka dengan Pasal 338 KUHP beserta dengan Pasal 311 ayat (4) dan ayat (5) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan Pasal 127 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebelum membahas masalah adil atau tidaknya putusan hakim, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, yaitu putusan jaksa kurang tepat menuntut dengan Pasal 338 KUHP yang berbunyi,”Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Karena dalam pasal ini jelas dikatakan ada unsur “SENGAJA” sementara Afriani sendiri pada saat itu sedang dipengaruhi obat terlarang dalam arti pikirannya sedang “ab-normal”, jadi tidak mungkin ada kesengajaan tetapi ini dapat disebut “KELALAIAN”. Pasal 334 KUHP mungkin lebih cocok, terlepas kita dari unsur pidananya. Akan tetapi kalau melanggar UU No. 22 Tahun 2009 dan UU No. 35 Tahun 2009 itu pasti.


Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Afriyani Susanti, sopir Xenia yang menewaskan sembilan orang, berupa hukuman penjara selama 15 tahun, Rabu (29/8/2012). Pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Ketua Majelis Hakim Antonius Widyanto membacakan putusannya, "Terdakwa Afriyani Susanti terbukti bersalah melakukan tindakan pidana dengan mengemudikan kendaraan dengan cara atau dalam keadaan yang membahayakan bagi nyawa orang lain. Kami menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun," ujar Antonius. Sementara itu, majelis hakim membebaskan Afriyani dari dakwaan primer, yaitu Pasal 338 KUHP tentang kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Majelis hakim beralasan bahwa selama persidangan tidak terungkap bahwa adanya niat Afriyani untuk menabrak korban. "Kami membebaskan terdakwa dari dakwaan primer Pasal 338 KUHP," lanjut Antonius. 


Berdasarkan pertimbangan majelis hakim, terdakwa Afriyani terbukti melakukan kelalaian sebagaimana diatur dalam Pasal 311 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut Afriyani dengan hukuman pidana penjara 20 tahun. Sebelumnya diberitakan, keluarga korban berharap majelis hakim mengabulkan tuntutan dari jaksa penuntut umum, yakni 20 tahun penjara. Hal ini disampaikan Mulyadi, orangtua Arie, korban meninggal dalam peristiwa itu. Adapun penggunaan Pasal 338 KUHP yang didakwakan jaksa penuntut memang menjadi perdebatan sejak awal. Dalam dakwaannya, jaksa penuntut menggunakan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan dengan Unsur Kesengajaan serta Pasal 311 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta menuntut Afriyani dengan 20 tahun penjara.

silahkan juga membaca makalah sosiologi yang lain

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel