Sejarah, Pengertian, Dasar dan Tujuan Pidana Mati di Indonesia

wawasanpendidikan.com; meraknya kasus penyelundupan narkoba di Indonesia sehingga pemerintah membuat aturan ketat tentang para pengedar serta pengguna narkoba di Indonesia. tidak tanggung-tanggung, sampai saat ini telah terdapat 14 orang yang mendapatkan hukuman yang setimpal yaitu Hukuman Mati/ Pidana Mati. nah, mengingat penting untuk diketahui oleh masyarakat, maka sobat pendidikan sedikit mengupas tentang Pidana Mati di Indonesia.

Sejarah, Pengertian, Dasar dan Tujuan Pidana Mati di Indonesia

A. Sejarah Pidana Mati di Indonesia

Hukuman mati di Indonesia sebenarnya telah ada sejak masa kerajaan. Pada saat itu hukuman mati diberlakukan oleh para raja untuk menjamin terciptanya keamanan dan kedamaian masyarakat  yang berada di wilayah kerajaannya. Hukuman mati dilakukan dalam berbagai cara, seperti dipancung, dibakar, dan diseret dengan kuda. 

Pada masa kolonial hukuman mati diberlakukan untuk kasus-kasus yang menyangkut keselamatan negara, keselamatan kepala negara dan kejahatan-kejahatan sadis lainnya. Pada masa kolonial hukuman mati diatur di dalam Wetboek van Strafrecht. 

Saat itu hukuman mati dilakukan dalam berbagai cara yang dapat dikatakan tidak manusiawi, seperti adanya kasus antara pemuda yang merupakan calon perwira muda VOC yang berusia 17 tahun yang bermesraan dengan gadis yang berusia 13 tahun, sang pemuda dipancung dan si gadis didera/dicambuk dengan badan setengah telanjang di balai kota. Selain itu ada kasus yang menimpa 6 budak yang dipatahkan tubuhnya dengan roda karena dituduh mencekik majikannya, lalu ada kasus Pieter Elberveld dan beberapa orang pengikutnya karena diduga akan melakukan pemberontakan dan akhirnya mereka dihukum mati dengan cara badannya dirobek menjadi empat bagian, kemudian potongan badan tersebut dilempar ke luar kota untuk santapan burung. 

Contoh di atas adalah bentuk hukuman mati yang sangat tidak manusiawi. Hal tersebut sangat wajar karena saat itu hukum yang berlaku adalah hukum kolonial. Hukum kolonial terkenal kejam karena untuk memberikan rasa takut bagi masyarakat untuk melakukan perlawanan. Sehingga Belanda dapat bertahan cukup lama di Indonesia. 

Lalu pada masa pemerintahan presiden Soekarno hukuman mati tetap diatur di dalam Wetboek van Strafrecht atau yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pada saat itu ada beberapa kasus yang dijatuhi hukuman mati seperti kasus Kartosuwirjo, Kusni Kasdut, dan tragedi Cikini. Selain itu masih banyak vonis hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan. 

Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Banyak pula kasus hukuman mati yang dilakukan oleh pemerintah. Namun pada masa ini tidak terlalu dipertentangkan karena pemerintahan saat itu terkenal sangat represif. Sebagian besar yang dieksekusi mati adalah lawan politik Soeharto. Kita pasti masih ingat ketika Petrus menebar teror dengan menembak mati siapa saja yang “dianggap” mengganggu ketertiban. Hal seperti itu adalah bentuk hukuman mati secara terselubung. 

Pasca orde baru pemerintahan tiga presiden juga banyak penjatuhan hukuman mati. Bagaimana ketika megawati menolak tiga permohonan grasi terpidana mati. Pada akhirnya ketiga terpidana tersebut tewas ditangan regu tembak, antara lain Chaubey. Lain halnya ketika masa pemeritahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tercatat ada beberapa kasus yang di jatuhi vonis hukuman mati seperti terpidana mati kasus terorisme seperti Amrozi, Ali hufron, Imam Samudera, Fabianus Tibo cs. 

B. Pengertian Pidana Mati 

Baik berdasarkan pada pasal 69 maupun berdasarkan hak yang tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana terberat. Karena pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia yang sesungguhnya berada ditangan Tuhan.
 
Hukuman mati dalam istilah hukum dikenal dengan uitvoering. Hukuman atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang yang diancam dengan hukuman mati. Hukuman mati berarti telah menghilangkan nyawa seseorang. Padahal setiap manusia memilik hak untuk hidup.

 Hukuman mati merupakan kejahatan Negara pemikiran (premeditation) dan perencanaan terhadap suatu pembunuhan yang dilakukan dan dipersiapkan secara sistematis dan matang terlebih dahulu dan atau pembunuhan yang dilegalisir dan diadministrasikan oleh negara.
 
Berbicara mengenai pidana mati, pastilah tidak jauh dengan makna mati dan kematian. Dan dari situlah dapat membuka peluang perbedaan pendapat yang sangat kontras. Bagi kaum jahiliyah katakanlah kaum sekuler, mereka menganggap mati itu akhir dari segalanya. Bagi mereka, awal itu yakni kelahiran dan akhir itu kematian.Filsafat mereka mengutamakan “tujuan menghalalkan segala cara”.

 Definisi mati yang dianut oleh Indonesia adalah dideklarasikan oleh Ikatan Dokter Indonesia, yang juga sesuai dengan yang dianut oleh Negara lain, walaupun ada sedikit perbedaan. 

Ada beberapa definisi mati yang Pertama, definisi klinis atau Somatis atau Sistematis yaitu munculnya tanda kematian pada pemeriksaan fisik atau keadaan dimana tidak berfungsinya 3 bagian tubuh terpenting yaitu otak, jantung dan paru-paru.

Kedua, bila seseorang mengalami mati batang otak, maka dinyatakan mati walaupun jantungnya masih hidup, ginjalnya masih berdenyut, termasuk hati dan paru-parunya. Walaupun kematian otak masih diuji dan dapat mempuyai tujuan, keabsahannya sebagai ukuran tidak jelas karena sangat memungkinkan terutama dengan kemajuan teknologi, pasien memperoleh teknik “plugged-in” untuk melanjutkan pernafasan dan mendapatkan denyut jantung yang bisa didengar setelah kematian otak yang nyata. 
 
Ketiga, kematian seluler atau molekuler. Yaitu kematian pada tingkatan sel dan ini terjadi beberapa saat kemudian setelah kematian klinis. Kematian sel inilah yang menyebabkan suhu tubuh menurun dan akhirnya suhu tubuh sama dengan suhu lingkungannya. Keadaan demikian tercapai sekitar 3-4 jam setelah organ vital tubuh tidak berfungsi.

C. Dasar Pidana Mati

Hukuman mati di Indonesia diatur dalam pasal 10 KUHP jo pasal 11 KUHP. Pidana mati merupakan salah satu pidana pokok yang masih dipertahankan oleh Hukum Pidana di Indonesia. Pasal 10 yang memuat dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok, terdiri dari: Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. Hukuman tambahan terdiri dari: Pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim. Pasal 11 KUHP bunyinya: Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat gantungan dengan menjer atkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Sedangkan tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam UU No. 2/PnPs/1964 yang masih berlaku sampai saat ini. ` 

D. Tujuan Pemidanaan 

Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana senantiasa dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut: 
“Pemerintah Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tetapi kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah Negara diserang misalnya, yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi, pada pihak satu, pemerintah Negara membela  dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapaun juga, sedangkan pada pihak lain pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.”
Ted Honderich berpendapat bahwa pemidanaan harus memuat 3 (tiga) unsur berikut : 
  1. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur  pertama ini diderita oleh subyek yang menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain. \
  2. etiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum pula. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan. 
  3. Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya.  
Sumber:
  • P. Vijay Chada. (1995).  Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksiologi. Jakarta: Widya Medika
  • George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson. (1986). Antropologi Kesehatan (terjemah), Jakarta: UI Press
  • Bismar Siregar. (1992).  Islam dan Hukum.  Jakarta: Grafikatama Jaya
  • Adami Chazawi. (2002).  Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel