Makalah Sosiologi tentang Agama dan Masyarakat

Wawasan Pendidikan;  masih ingat, beberapa hari yang lalu sobat pendidikan berbagi Makalah Sosiologi tentang Agama dan Gerakan Sosial. kali ini akan dilanjutkan dengan Makalah Sosiologi Tentang Agama dan Masyarakat. silahkan di baca.
                                       
                    

A.    Pengertian Agama dan Pandangan Sosiologis
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). 

Para ilmuwan sosial menghadapi banyak kesulitan dalam merumuskan agama dengan tepat. Masalah pokok dalam mencapai suatu definisi yang baik ialah dalam menentukan di mana batas-batas gejala itu harus ditempatkan. Seperti dikemukakan oleh Roland Robertson (1993), ada dua jenis utama definisi tentang agama yang telah diusulkan oleh ilmuwan sosial, yang inklusif dan eksklusif.

Suatu agama ialah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktik yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yakni hal-hal yang dibolehkan dan dilarang- kepercayaan dan praktik-praktik yang mempersatukan suatu komunitas moral yang disebut gereja, semua mereka yang terpaut satu sama lain (Durkheim, 2011). Saya merumuskan agama sebagai seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang menghubungkan manusia dengan kondisi akhir eksisitensinya (Bellah, 1973). Jadi, agama dapat dirumuskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik di mana suatu kelompok manusia berjuang menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia.

Definisi pertama yang dikemukakan di atas sangat terkenal dan telah dikutip berulang kali oleh banyak sosiolog. Bagi Durkheim, karakteristik agama yang penting ialah bahwa agama itu diorientasikan kepada sesuatu yang dirumuskan oleh manusia sebagai suci / sakti, yakni objek referensi, yang dihargai, dan malah dahsyat. Sedangkan definisi kedua dan ketiga yang dikutip di atas menekankan bahwa agama itu di atas segala-galanya, diorientasikan kepada ”penderitaan akhir “ (ultimate concern) umat manusia.

Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, agama berasal dari kata sansekerta, yang pada mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab suci golongan Hindu Syiwa (kitab suci mereka bernama Agama). Kata itu kemudian menjadi dikenal luas dalam masyarakat Indonesia.

Ada tiga pendapat yang dapat dijumpai berkenaan dengan arti harfi kata agama itu. Pertama mengartikan tidak kacau, kedua tidak pergi (maksidnya diwarisi turun-temurun), dan ketiga jalan berpergian (maksudnya jalan hidup).

Hampir semua agama diketahui mengandung empat unsur penting, yaitu (a) pengakuan bahwa ada kekuatan gaib yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia, (b) keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya hubungan baik antara manusia dengan kekuatan gaib itu, (c) sikap emosional pada hati manusia terhadap kekuatan gaib itu, seperti sikap takut, hormat, cinta, penuh harap, pasrah, dan lain-lain dan (d) tingkah laku tertentu yang dapat diamati, seperti shalat (sembahyang), doa, puasa, suka menolong, tidak korupsi, dan lain-lain. Sebagai buah dari tiga unsur pertama.Tiga unsur pertama merupakan jiwa agama, sedangkan unsur keempat merupakan bentuk lahiriyah. 

Masyarakat maju atau modern yang beragama, pada umumnya cenderung pada paham monoteisme, yakni meyakini hanya ada satu Tuhan, yang menciptakan segenap alam; tidak ada Tuhan selain Dia, seperti rumusan syahadat (tidak ada Tuhan selain Allah).

Secara teologis, ulama islam membagi agama-agama yang ada di dunia ini menjadi dua kelompok. Pertama adalah wahyu, yakni agama yang diwahyukan Tuhan kepada rasul-Nya yang banyak. Kedua adalah agama bukan wahyu, yakni agama-agama yang muncul sebagai hasil budaya khayal, perasaan, atau pikiran manusia.

Dalam perspektif ilmuwan sosial definisi-definisi agama dapat diungkapkan kembali sebagai berikut.
  1. Ada dua tipe definisi yang berbeda secara fundamental tentang agama yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan sosial. Definisi-definisi inklusif menekankan bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan dan praktik-praktik yang diorganisasi sekitar hal-hal yang dikatakan suci atau yang diorientasikan kepada kekhawatiran akhir manusia. Sedangkan definisi ekslusif lebih terbatas dan membatasi pengertian agama pada kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang mempostulatkan kekuatan-kekuatan supernatural yang berlaku dalam dunia ini.
  2. Agama adalah suatu fenomena evolusioner dalam banyak pengertian yang sama seperti komponen-komponen masyarakat manusia yang lainnya. 
  3. Studi-studi empiris menunjukkan adanya kesesuaian yang erat antara evolusi agama dan evolusi ekonomi-politik.
  4. Dalam menyebut agama sebagai “opium masyarakat” Marx berpendapat bahwa agama berfungsi sebagai suatu cara meredakan penderitaan yang dihasilkan oleh eksploitasi dan penindasan. Ia juga berpendapat bahwa agama secara mendalam adalah sesuatu kekuatan yang konservatif secara politis.
  5. Namun, dalam banyak hal tesis candu masyarakat dari Marx setengah saja yang benar. Agama kadang-kadang merupakan suatu kekuatan radikal, bukannya konservatif.
  6. Bentuk-bentuk organisasi agama modern pada dasarnya diawali dengan munculnya Reformasi Protestan abad XVI. 
  7. Ada berbagai tipe organisasi religius dalam masyarakat industri modern. Yinger mengidentifikasi lima tipe dasar kelompok agama.
  8. Dalam abad terakhir, peningkatan rasionalitas ekonomi, industrialisasi, urbanisasi, dan kemajuan ilmu telah menyebabkan meluasnya sekularisasi masyarakat-masyarakat industri modern.
Untuk memperjelas batasan agama, kiranya perlu ditekankan kembali bahwa pemahaman sosiologi atas agama tidak ditimba dari “pewahyuan” yang datang dari “dunia luar”, tetapi diangkat dari eksperiensi atau pengalaman konkret sekitar agama yang dikumpulkan dari sana-sini, baik dari masa lampau (sejarah) maupun dari kejadian-kejadian sekarang. Dengan kata singkat, definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama yang evaluatif (menilai).

B.    Agama dan Pengaruhnya dalam Kehidupan

Geertz merumuskan agama dalam sosiologi agama berbunyi, “agama ialah suatu sistem simbol yang berbuat untuk menciptakan suasana hati (mood) dan motivasi yang kuat, serba menyeluruh dan berlaku lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep yang bersifat umum tentang segala sesuatu (existence) dan dengan membalut konsepsi itu dengan suasana kepastian faktual, sehingga suasana hati dan motivasi itu terasa sungguh-sungguh realistik”.

Nottingham, sosiolog agama, berpandapat bahwa agama bukan suatu yang dapat dipahami melalui definisi, melainkan melalui deskripsi (penggambaran). Tidak ada satu pun definisi agama yang benar-benar memuaskan. Menurut gambaran Nottingham, agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Selain itu, agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut dan ngeri.

Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang per orang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu, agama juga memberi dampak bagi kehidipan sehari-hari. Dengan demikian, secara psikologis agama dapat berfungsi sebagai motif instrinsik (dalam diri) dan motif ekstrinsik (luar diri).

C.    Agama dalam Kehidupan Manusia

Agama dalam kehidupan manusia sebagai individu berfungsi sebagai suatu sistem yang memuat norma-norma tertentu. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas. Menurut Mc Guire, diri manusia memiliki bentuk sistem tertentu. Sistem nilai ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi. Guire mengatakan berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh seseorang dari hasil belajar dan sosialisasi tadi meresap dalam dirinya. Sejak saat itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang menyatu dalam bentuk identitas seseorang. Setelah terbentuk, maka seseorang secara serta merta mampu menggunakan sistem nilai ini dalam memahami, mengevaluasi serta menafsirkan situasi dan pengalaman.

Pada intinya, menurut Mc Guire, sistem nilai yang berdasarkan agama dapat memberi individu dan masyarakat perangkat sistem nilai dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam mengatur sikap individu dan masyarakat.

Dilihat dari fungsi dan peran agama dalam memberi pengaruhnya terhadap individu, baik dalam bentuk sistem nilai, motivasi maupun pedoman hidup, maka pengaruh yang paling penting adalah sebagai pembentuk kata hati (conscience).kata hati menurut Erich Fromm adalah panggilan kembali manusia kepada dirinya. Fromm membagi kata hati menjadi; (1) kata hati otoritarian; dan kata hati humanistik. Kata hati otoritarian dibentuk oleh pengaruh luar, sedangkan kata humanistik bersumber dari dalam diri manusia.

Pada diri manusia telah ada sejumlah potensi untuk memberi arah dalam kehidupan manusia. Potensi tersebut adalah; (1) naluriah, (2) inderawi, (3) nalar, dan (4) agama. Melalui pendekatan ini, maka agama sudah menjadi potensi fitrah yang dibawa sejak lahir. Pengaruh lingkungan terhadap seseorang adalah memberi bimbingan kepada potensi yang dimilikinya itu. Dengan demikian, jika potensi fitrah itu dapat dikembangkan sejalan dengan pengaruh lingkungan, maka akan terjadi keselarasan. Sebaliknya, jika potensi itu dikembangkan dalam kondisi yang dipertentangkan oleh kondisi lingkungan, maka akan terjadi ketidakseimbangan pada diri seseorang. Berdasarkan pendekatan ini, maka pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas.

Agama juga mempunyai pengaruh sebagai motivasi dalam mendorong individu dalam melakukan aktivitas, karena  perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian, serta ketaatan.

D.    Agama Sebagai Ritus Masyarakat

Perspektif sosiologis umum Durkheim ialah bahwa kehidupan sosial merupakan suatu tingkat realitas yang tidak dapat diinterpretasikan dalam hubungan dengan karakteristik individu-individu. ditegaskannya para sosiolog mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fenomena yang ada terlepas dari individu-individu dan memasukkan pengaruh pengawasan atas mereka. Agama muncul karena manusia hidup di dalam masyarakat, dengan demikian mengembangkan kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu sebagai akibat dari kehidupan kolektif mereka. Agama ada karena agama dapat memenuhi fungsi-fungsi sosial tertentu yang penting dan tak dapat dipenuhi tanpa agama. Peranan utamanya, menurut Durkheim ialah sebagai integrator kemasyarakatan.

Durkheim mencatat bahwa di kalangan orang-orang Arunta ritual dan seremoni adalah bagian yang sangat penting daripada kehidupan sosial. Ia menarik suatu tesis radikal (dan sangat spekulatif) dari sini. Fakta bahwa orang-orang Arunta menyembah kekuasaan-kekuasaan supernatural bukanlah apa yang paling penting mengenai kegiatan mereka. Orang-orang Arunta sesungguhnya sedang menyembah kekuasaan masyarakat mereka sendiri, kekuasaan masyarakat atas setiap individu. Ritual keagamaan mereka mendemonstrasikan dan menyimbolkan perlunya individu-individu menyerahkan diri mereka kepada kehendak kelompok.

E.    Pengaruh Timbal Balik antara Agama dan Masyarakat

Pengaruh timbal balik antara agama dan masyarakat, merupakan fokus perhatian juga dari kajian sosiologi agama. 

Kemungkinan adanya kaitan antara kemajuan yang telah dicapai oleh suatu masyarakat dengan agama yang mereka peluk, juga hubungan timbal balik antara agama dan negara, demikian pula sejauh mana kemungkinan adanya pengaruh ajaran agama terhadap munculnya kesadaran bernegara dan berbangsa di kalangan bangsa-bangsa Asia Tenggara telah pernah dicoba untuk diteliti oleh sosiolog-sosiolog tertentu.

F.    Agama: Pendekatan Teori Fungsional

1.    Teori-teori Fungsionalisme Mengenai Masyarakat
Seorang filosof Prancis Augus Comte mengawali gagasannya tentang masyarakat sebagai bagian dari alam. Sehubungan dengan itu, maka metod1e-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya, dalam kaitan ini beberapa pengamat menyebutnya dengan istilah “positivisme”.

Comte beranggapan bahwa keluarga-keluarga merupakan sel-sel sosial. sementara kekuatan sosial merupakan urat-urat sosial; negara dan kota adalah organ-organ sosial; serta negara-negara dunia merupakan analogi sistem organisme biologi.

Fungsionalisme awal juga dipengaruhi pula oleh Herbert Spencer (1820-1903) yang memiliki pandangan hampir sama dengan Comte. Menurut Spencer ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, bahwa masyarakat adalah analog dengan organisme. Masyarakat berkembang secara evolutif, mirip dengan evolusi biologis makhluk hidup (Teori Darwin). Kedua, bahwa aransemen-aransemen sosial berfungsi untuk menjamin penyaluran tiga fungsi vital yaitu regulasi, distribusi, dan makanan.

Singkatnya, antara Comte dan Spenser mempunyai kesamaan pandang tentang masyarakat. mereka telah mengenalkan struktural fungsional sebagai analisis masyarakat dalam garis besarnya.

Durkheim mengembangkan model analisis di dalam sosiologi yang sampai sekarang disebut sebagai fungsionalisme. Asumusi umum yang mendasar dari pendekatan Durkheim terhadap sosiologi ialah gejala sosial riil. Durkheim lebih banyak memfokuskan pada konsep solidaritas sosial dan beberapa istilah lain yang berkaitan yakni integritas sosial dan kekompakan sosial.

Talcoltt Parson (awal abad 20) menganalisis masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Inti dari suatu sistem adalah hubungan antar bagian-bagian yang membentuk satu keseluruhan yaitu berupa organisme sosial. Parson melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang mana tiap-tiap unsur saling mempengaruhi, saling membutuhkan, dan bersama-sama membangun totalitas yang ada, serta bertujuan untuk mewujudkan keseimbangan.

Robert Merton adalah salah seorang murid Parsons. Namun, ia tidak begitu menyetujui konsep-konsep gurunya. Salah satu kritiknya ialah bahwa menurutnya agama tidak selamanya mendukung integrasi. Bahkan sepanjang sejarah justru menjadi picu konflik dan perpecahan.

Dari beberapa perkembangan teori fungsionalisme baik dari awal seperti halnya yang dirintis oleh Comte maupun sampai dengan pengikut-pengikutnya dapat disimpulkan bahwa pendekatan sosiolog dalam mempelajari kehidupan sosial tergantung pada teori dan asumsi konseptual tentang masyarakat, serta perilaku sosial.

2.    Teori Fungsional mengenai Agama

Teori fungsional melihat manusia dalam masyarakat sebagai ditandai oleh dua tipe kebutuhan dan dua jenis kecenderungan bertindak. Teori fungsional menumbuhkan perhatian kita pada sumbangan fungsional agama yang diberikan terhadap sistem sosial. Agama dengan kedekatannya pada suatu yang berada di luar jangkauan dan keyakinannya bahwa manusia berkepentingan pada suatu yang di luar jangkauan itu telah memberikan suatu pandangan realitas supra-empiris menyeluruh yang lebih luas.

Dari sudut teori fungsional agama telah dibatasi sebagai “pendayagunaan sarana nonempiris atau supraempiris untuk maksud-maksud nonempiris atau supraempiris”, sedang magis adalah pendayagunaan sarana nonempiris atau supraempiris untuk maksud-maksud empiris. Akan tetapi, penggunaan istilah “manipulasi” dalam definisi agama, tidak tepat dan gagal menggambarkan sikap keagamaan. Agama menawarkan apa yang dirasakan sebagai jalan untuk memasuki hubungan dengan aspek-aspek realitas supraempiris, apakah itu diartikan sebagai Tuhan, Dewa atau pun sebaliknya. Magis berbeda dengan agama dalam arti ia memiliki esensi manipulatif; tetapi manipulasi magis ini juga dilakukan dalam suasana ketakutan dan penghormatan, keharuan, dan keajaiban, yang mirip dengan apa yang merupakan ciri relasi keagamaan.

Daftar Pustaka
  • Robertson Roland  (1993) Agama: Dalam analisis dan interpretasi sosiologi. Jakarta: Rajawali Press
  • Durkheim, Emile.(2011). The Elementary Forms Of The Religious Life: Sejarah Bentuk-Bentuk Agama yang Paling Dasar. Jogjakarta: IRCiSoD.
  • Bellah, Robert N. (Ed.), Durkheim, Emile. (1973) On Morality and Society. Chicago and London: The University of Chicago Press.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel