Hakekat Manusia: Sifat dan wujud Hakikat Manusia

Hakekat Manusia: Sifat dan wujud Hakikat Manusia

Wawasan Pendidikan. kali ini sobat pendidikan berbagi artikel tentang Hakikat Manusia. semoga artikel ini bermanfaat, selamat membaca!




Hakekat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, diciptakan dalam bentuk paling sempurna. Manusia adalah makhluk spiritual yang akan menjalani fase-fase peristiwa kehidupan baik sebelum lahir, sekarang maupun setelah mati.

Kalimat diatas mungkin terlalu filosofis, namun sebenarnya merupakan istilah sederhana yang bisa dipahami. Spiritual merupakan aspek non fisik yang mampu memberikan kekuatan manusia untuk lebih dari sekedar hidup. Bukti akan hakekat manusia sebagai makhluk spiritual mungkin dapat ditunjukkan dengan beberapa contoh berikut. 

Ketika menjalani hidup sehari-hari, manusia tidak selamanya dalam kondisi bahagia. Namun kadang mengalami musibah, nikmat, susah, senang, sedih bahkan terkadang merasakan kesuksesan diluar rencana.Semuanya itu datang silih berganti seperti sudah ada keteraturan. Inilah salah satu nuansa spiritual yang ada pada manusia. 

Dalam hal rasa, manusia mempunyai interpretasi berbeda-beda tentang apa yang dirasakan hati. Perasan senang, susah, enak ataupun nggak enak merupakan fenomena hati yang sudah biasa terjadi. Tukang becak yang tiduran di halte kadang lebih pulas daripada pengusaha yang tidur di hotel berbintang. Orang miskin yang pandai bersyukur akan lebih kaya dari konglomerat yang gila dunia. Semuanya tergantung dari bagaimana seseorang menyikapi apa yang dialaminya.

SIFAT HAKEKAT MANUSIA
Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropogi. Hal ini menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekadar soal praktek melainkan praktek yang berlandasan dan bertjuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sndiri sifatnya filosofis normative. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal tentang ciri hakiki manusia. Uraian selanjutnya akan membahas pengertian sifat hakikat manusia dan wujud sifat hakikat manusia. Gambaran yang jelas dan benar tentang manusia itulah yang memberi arah tepat pendidik ke mana peserta didiknya harus dibawa. 

Pengertian Sifat Hakekat Manusia
Sifat hakikat manusia diartiakn sebagai ciri-ciri karakteristik yang secara prinsipil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan banyak kemiripan tertama jika dilihat dari segi biologisnya.

Kenyataan dari pernyantaan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan yang dengan melalui rekayasa dapat dibuat menjad es batu. Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa pendidikan orang hutan dapat dijadikan manusia. Upaya manusia untuk medapatkan keterangan bahwa hewan tidak identic dengan manusia telah ditemukan. Ada suatu proses antara yang tidak dapat dijelaskan. Jelasnya tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentu ubah dari primat atau kera melalui proses evolusi ang bersifat grandual.

  1. Bersifat FilosofisFilosofis berarti berdasarkan pengetahuan dan penyelidian dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hokum, termasuk termasuk teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan (berintikan logika, estetika, metafisika, epistemology dan falsafah) Untuk mendapatkan landasan pendidikan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis dan Universal tentang ciri hakiki manusia
  2. Bersifat Normatif,- Normatif berarti bersifat norma atau mempunyai tujuan/aturan Pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuhkembangkan sifat hakikat manusia sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan.

Wujud Sifat Hakikat Manusia 
 
Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki oleh hewan) yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan, yaitu :  
  • Kemampuan Menyadari Diri,-  
Kaum rasional menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau karakteristik diri.

Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek, selanjutnya aku menapulasi kedalam lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya. Puncak aktivitas yang mengarah keluar ini dapat dipandang sebagai gejala egoism. Dengan arah kedalam, aku memberi status kepada lingkungan (dalam hal ini kamu, dia, mereka) sebagai subjek berhadapan dengan aku sebagai subjek, yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan, tenggang rasa, dan sebagainya. 


Dengan kata lain keluar dari dirinya dan menempatkan aku pada diri orang lain. Gejala ini lazimnya dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang terpuji. Di dalam proses pendidikan, kecenderungan dua arah tersebut perlu dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah keluar merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti pembinaan aspek individualitas manusia.

Yang lebih istimewa ialah bahwa manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak (distansi) diri dengan akunya sendiri. Sungguh merupakan suatu anugerah yang luar biasa, yang menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk menyempurnakan diri. Aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan sebagai subjek kemudian memandang dirinya sendiri sebagai objek untuk melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya. Pada saat demikian seorang aku dapat berperan ganda (sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek), suatu aktivitas yang tidak mudah untuk dilakukan. Bukankah pada suatu ketika manusia dapat berperan sebagai polisi, hakim, atau pendidik atas dirinya, sebagai pesakitan, terdakwa, atau si terdidik. 


Lazim dikatakan bahwa peran yang paling besar ialah menghadapi musuh yang ada di dalam diri sendiri. Inilah menifestasi dari puncak karakteristik manusia yang menjadikannya lebih unggul dan hewan. Drijakara (Drijakara: 138) menyebut kemampuan tersebut dengan istilah “meng-Aku”, yaitu kemampuan mengekplorasoi potensi-potensi yang ada pada aku, dan memahami potensi-potensi tersebut sebagai kekuatan yang dapat dikembangkan sehingga aku dapat berkembang ke arah kesempurnaan diri. Kenyataan seperti ini mempunyai implikasi pedagogis, yaitu keharusan pendidikan untuk menumbuh-kembangkan kemampuan meng-Aku pada peserta didik. Dengan kata lain pendidikan diri sendiri yang ileh Langeveld disebut self forming perlu mendapat perhatian secara serius dari semua pendidik.

  • Kemampuan bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan dirinya sebagai objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu, berarti manusia itu dapat menembus atau menerobos  dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja dalam kaitannya dengan soal ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan demikian manusia tidak terbelenggu oleh tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini (sekarang), tapi dapat menembus ke “sana” dan ke “masa depan” ataupun “masa lampau”. 

Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemapuan bereksistensi. Justru karena manusia memiliki kamampuan bereksistensi inilah maka pada manusia terdapat unsur kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusia bukan “ber-ada” seperti hewan di dalam kandang dan tumbuh-tumbuhan di dalam kebun, melainkan “meng-ada” di muka bumi (Drijarkara, 196261-63). 

Jika seandainya pada diri manusia tidak terdapat kebebasan atau kemampuan bereksistensi, maka manusia itu tidak lebih dari hanya sekedar “esensi” belaka, artinya ada hanya sekedar “ber-ada” dan tidak pernah “meng-ada” atau “ber-eksistensi”. Adanya kemampuan berekstensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human dari hewan selaku makhluk infra guman, dimana hewan menjadi onderdil dari lingkungan, sedangkan manusia menjadi manajer terhadap lingkungannya.

Kemampuan berekstensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu, sertengembangkan daya imajinasi kreatif sejak dari masa kanak-kanak.

  • Pemilikan kata hati
Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainnya. Conscience ialah “pengertian yang ikut serta” atau “ pengertian yang mengikut perbuatan”. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah diperbuat, bahkan mengerti juga akibatnya (baik atau buruk) bagi manusia sebagai manusia.

Dengan sebutan “pelita hati” atau “hati nurani” meunjukan bahwa kata hati adalah kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik buruknya perbuatannya sebagai manusia. Orang yang tdak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah ataupun kemampuan dalam mengambil keputusan tersebut hanya dari sudut pandangan tertentu (misalnya sudut kepentingan diri), dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam.

Dapat disimpilkan bahwa kata hati adalah kemampuan membuat keputusan   tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan moral (perbuatan), kata hati merupakan “petunjuk bagi moralperbuatan”. Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan forming). Realisasinya dapat ditempuh dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati yang tajam.
  •  Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan itu sendiri. Di sini tampak bahwa masih ada jarak antara kata hati dengan moral. Artinya seseorang ang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari kata hatinya itu. Untuk menjembatani jarak yang mengantarai keduanya masih ada aspek yang diperlukan yaitu kemauan. 

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau moral yang tinggi (luhur). Sbaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam ataupun merupakan realisasi dari kata yang tumpul disebut moral yang buruk atau moral yang rendah (asor) atau lazim yang dikatakan tidak bermoral.

  • Kemampuan bertanggung jawab
Kesedian untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab keada masyarakat, dan tanggung jawab terhadap tuhan. Tanggung jawab terhadap diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam. Bertanggung jawan terhadap masyarakat berate menanggung tuntutan norma-norma social. Bentuk tuntutannya berupa sanksi-sanksi social seperti cemoohan masyarakat, hukuman penjara, dan lain-lain. Brtanggung jawab kepada tuhan berarti menanggung tuntutan nrma-norma agama, misalnya perasaan berdosa, dan terkutuk.

Disini tampak betapa eratnya hubungan antara kata hati, moral, dan bertanggung jawab. Kata hati memberi pedoman, moral melakukan, dan tanggung jawab merupakan kesediaan menerima konsekuensi dari perbuatan. 


Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan keberanian untuk menentukan bahwa suatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan sebagai sanksi apa pun yang dituntukan (oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma agama), diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan.

  • Rasa kebebasan (kemerdekaan)
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kuadrat manusia. Dalam pernyataan ini dua hal yang kelihatannya saling bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” yang berarti ada ikatan.

Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Orang hanya mungkin merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiwai segenap perbuatannya. Dengan kata lain, ikatan luar (yang membelenggu) telah berubah menjadi ikatan dalam (yang mengerakkan). Dengan kata lain kebebasan demikian itu segera akan diburu oleh ikatan-ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang justru mengundang kegelisahaan. Itulah bebanya seorang pembunuh yang habis membunuh (perbuatan bebas tanpa ikatan) biasanya berupaya mati-matian menyembunyikan diri (rasa tidak merdeka).

  • Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada saat itu belum dipenuhi ), sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang masih kosong. Artinya meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang mengetahuinya (misalnya hak memperoleh perlindungan hukum).

Dalam realitas hidup sehari-hari, umumnya hak diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandan melainkan sesutau keniscayaan. Artinya selama seseorang menyebut dirinya sebagai manusia, maka kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Sebab jika menyalahkannya maka itu berarti mengingkari kemanusiaannya (yaitu sebagai kenyataan makhluk sosial). 


Jika ada orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan disiplin dan tanggung jawab belum sepantasnya diberikan kepada anak-anak sejak masih balita adalah keliru. Benih-benih kedisiplinan dan rasa tanggung jawab seharusnya sudah mulai ditumbuh kembangkan sejak dini, bahkan sejak anak masih dalam keranjang ayunan, mulai latihan kebiasaan (habit forming) khususnya mengenai hal-hal yang nantinya bersifat rutin dan dibutuhkan didalam kehidupan. Disiplin diri meliputi empat aspek, yaitu :
1.    Disiplin rasional, yang bila terjadi pelanggaran yang menimnulkan rasa salah.
2.    Disiplin sosial jika dilanggar menimbulkan rasa malu.
3.    Disiplin afektif, jika dilanggar menimnulkan rasa gelisah.
4.    Disiplin agama, jika terjadi pelanggaran menimbulkan rasa berdosa.  

  • Kemampuan kenghayati kebahagiaan
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan hidup disebut ”kebahagiaan” ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan. Dapat diduga, bahwa hampir setiap orang pernah mengalami rasa bahagia. Untuk mengabarkan arti istilah kebahgiaan sehingga cukup jelas dipahami serta memuaskan semua pihak sesungguhnya tidak mudah. 

Rangkaian kejadiaan yang didalamnya tercermin kebahagiaan, misalnya seseorang yang telah lulus dan mendapat gelar sarjana dengan predikat kelulusan yang baik, karena mencapai IPK: 3,8 (kebahagiaan) setelah itu dengan masa menunggu sekitar setahun (penderitaan) dapat diterimapada sebuah perusahaan kimia dengan gaji yang sangat mengembirakan (kebahagiaan). 


Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan peningkatannya. Ada dua hal yang dapat dikembangkan yaitu kemampuan berusaha menghayati hasil usaha dalam kaitannya sengan takdir. Dengan demikian pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk mencapai kebahagiaan, utamanya pendidikan keagamaan.


Manusia adalah makhluk yang terhubung, dengan masyarakat, lingkungannya, dirinya sendiri, dan tuhan.  Disebut demikian karna yang di landa krisis  buka hanya segi-segi tertentu dari kehidupan seperti krisis ekonomi, krisis energi, dan sebagainya, melainkan yang krisis adalah manusianya sendiri. 


Manusia yang menghayati kebahagiaan adalah pribadi manusia yang menghayati segenap keadaan dan kemampuannya. Manusia menghayati kebahagiaan apa bila jiwanya bersih dan stabil, jujur,bertanggun jawab, mempunyai pandangan hidup dan kenyakinan hidup yang kukuh dan bertekad untuk merealisasikan dengan cara yang realistis, demikian pandangannya


referensi 
Abdul, kadir. 2012. Dasar-dasar pendidikan. Jakarta: kencana

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel