Teori Masuknya Agama Hindu dan Buddha di Indonesia

Wawasan Pendidikan; Dalam buku sastra kuno India, Mahaniddesa disebutkan bahwa pada abad ke-3 Masehi India telah mengenal beberapa wilayah di Indonesia.  Namun masuknya pengaruh dari India diperkirakan mulai terjadi sejak abad ke-2 Masehi. 

Bukti adanya akulturasi budaya dan hubungan dagang pada masa itu bisa dilihat dari Kitab Jataka dan Kitab Ramayana.  Dalam Kitab Jataka disebutkan adanya nama Swarnabhumi yang bisa diartikan sebagai sebuah negeri emas yang bisa dicapai melalui perjalanan jauh yang penuh bahaya.  Swarnabhumi yang dimaksud dalam kitab ini diduga adalah Pulau Sumatera.

Sementara dalam Kitab Ramayana disebutkan adanya istilah Jawadwipa dan Swarnadwipa yang menurut ahli bahasa kuno bisa diartikan sebagai Pulau Padi yang subur yang diduga adalah Pulau Jawa.  Dan Pulau Emas dan Perak yang diduga adalah Pulau Sumatera.

Ditemukannya arca Buddha dari perunggu di daerah Sempaga, Sulawesi Selatan menjadi salah satu bukti bahwa agama dan kebudayaan Hindu-Buddha berkembang di Indonesia.  Arca tersebut memiliki ciri-ciri yang memperlihatkan langgam seni arca Amarawati dari India Selatan.  

Teori  Masuknya Agama Hindu dan Buddha di Indonesia

Arca sejenis juga ditemukan di wilayah Jember, Jawa Timur dan Bukit Siguntang di Sumatera Selatan.  Sementara di wilayah Kota Bangun Kutai (Kalimantan Timur) ditemukan arca Buddha dengan ciri seni arca dari India Utara. (Baca Juga : Masuknya Agama Hindu dan Buddha di Indonesia : Lahirnya Agama Hindu dan Buddha)

Beberapa bukti lainnya yang bisa menjelaskan masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia adalah penggunaan nama dengan akhiran “warman” yang merupakan tradisi bagi orang di India Selatan.  Bukti lainnya adalah digunakannya huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta yang berasal dari Kerajaan Palla yang berada di wilayah India Selatan.

Menurut para ahli, proses masuknya Hindu-Buddha ke Indonesia dibagi menjadi 2, yaitu masyarakat nusantara bersifat aktif dan masyarakat nusantara bersifat pasif.  Pada masyarakat nusantara yang berperan aktif, masyarakat belajar langsung ke India dan China untuk mempelajari ajaran agama tersebut dan menyebarkannya ketika kembali ke tanah air.

Sementara yang dimaksud dengan masyarakat nusantara pasif adalah masyarakat mempelajari ajaran Hindu-Buddha melalui pendatang dari India dan China yang datang ke nusantara.

Terdapat beberapa pendapat atau teori mengenai proses masuknya Hindu-Buddha di Indonesia dikenal dengan istilah “Hindunisasi”, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Teori Brahmana

Teori ini dikemukakan oleh V. J. Van Leur yang berpendapat bahwa ajaran Agama Hindu-Buddha di Indonesia dikembangkan oleh Kaum Brahmana dari Negeri India.  Hal ini didukung oleh adanya penemuan-penemuan prasasti di Indonesia yang hampir semuanya menggunakan huruf Pallawa dengan Bahasa Sansekerta, yaitu huruf dan bahasa yang di India dikuasai oleh Kaum Brahmana.

Teori ini juga didukung dengan adanya kebiasaan ajaran Hindu di Indonesia yang hampir sama dengan ajaran Hindu di India.  Dimana dalam ajaran Hindu tersebut pengajaran agama tentang yang baik dan benar hanya boleh dilakukan oleh Kaum Brahmana.  Dalam hal ini Kaum Brahmana dari India diundang ke Indonesia oleh kerajaan nusantara yang pada saat itu menganut kepercayaan animisme dan dinamisme untuk mengajarkan agama Hindu-Buddha.

Kelemahan dari teori ini adalah adanya suatu fakta yang menyebutkan bahwa menurut ajaran Hindu kuno, kaum Brahmana memiliki pantangan untuk menyeberangi lautan.  Sehingga tidak memungkinkan bagi kaum Brahmana untuk masuk ke Nusantara tanpa menyeberangi lautan.

2. Teori Ksatria

Teori ini menekankan adanya peranan orang India dan kebanyakan didukung oleh ahli-ahli India, diantaranya adalah Nehru dan Majumdar.  Teori ini juga didukung oleh C.C. Berg.  Teori Ksatria menyebutkan bahwa banyak ksatria dari India yang mendirikan koloni di Indonesia maupun Asia Tenggara melalui penaklukan dan menyebarkan Hinduisme.  Hal ini didasarkan pada semangat petualangan yang pada saat itu biasanya dimiliki oleh para ksatria.  

Teori ini juga didukung dengan adanyan kenyataan bahwa pada awal Masehi di India sering terjadi konflik antar golongan yang membuat para prajurit tertekan dengan kondisi peperangan yang berkepanjangan.  Hingga akhirnya mereka berinisiatif untuk meninggalkan India dan berpetualang ke Indonesia.  

Mereka tinggal dan menetap di Indonesia dan seiring dengan berjalannya waktu Kaum Ksatria berakulturasi dengan penduduk asli dan terjadilah pertukaran budaya dan ajaran Hindu-Buddha yang kemudian berkembang pesat.

Hanya saja teori ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
  • Ketidakmampuan para ksatria dalam menguasai Bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa, sementara bukti prasasti menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta.
  • Tidak adanya bukti prasasti yang menunjukkan tentang penaklukan kerajaan India terhadap Indonesia.  Sedangkan bukti prasasti tentang penaklukan Kerajaan Sriwijaya oleh Kerajaan Cola dari India terjadi pada abad ke-11 sehingga tidak cukup kuat untuk membuktikan teori tersebut.
3. Teori Waisya

Teori ini dikemukakan oleh N. J. Krom dan R. K. Mookerjee yang menyebutkan bahwa para kaum waisya atau pedagang sebagai pembawa dan penyebar Hinduisme di Indonesia.  Para pedagang yang tiba di Indonesia setidaknya harus tinggal selama kurang lebih 6 bulan untuk menunggu pergantian arah angin agar bisa kembali berlayar, sehingga banyak diantara pedagang yang akhirnya menikah dengan penduduk asli.

Teori ini didukung oleh adanya suatu fakta bahwa kaum pedagang dari India telah melakukan hubungan dagang dengan penguasa dan masyarakat nusantara pada awal Masehi, sehingga diyakini turut berpengaruh pada proses masuknya ajaran agaman Hindu-Buddha di Indonesia.

Beberapa kelemahan dari teori ini adalah:
  • Para pedagang dari kaum waisya tidak menguasai Bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa seperti yang dikuasai oleh Kaum Brahmana.  Sedangkan bukti prasasti yang ditemukan sebagian besar menggunakan Bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa.
  • Peta persebaran kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia sebagian besar berada di wilayah pedalaman.  Jika agama dan kebudayaan tersebut dibawa oleh pedagang seharusnya pusat kerajaan Hindu-Buddha berada di wilayah pesisir pantai.
4. Teori Arus Balik (Nasional)

Teori ini dikemukakan oleh F. D. K. Bosch yang menyebutkan bahwa penyebaran Agama Hindu-Buddha di Indonesia tidak terlepas dari peran aktif penduduk asli nusantara dalam menyebarkan ajaran ini.  

Ketika pertama kali dikenalkan dan diajarkan oleh para pemuka Agama Hindu-Buddha dari India mereka tertarik untuk mempelajarinya langsung dari negeri asalnya.  Banyak penduduk lokal yang kemudian mempelajarinya langsung di India dan setelah dirasa cukup mereka kembali ke Indonesia dan menyebarkannya ajaran tersebut kepada penduduk lainnya.

Teori ini memiliki kelemahan yaitu kondisi masyarakat lokal pada waktu itu sangat pasif dan kemungkinan tidak mau mengambil inisiatif untuk pergi ke India dan mempelajari langsung ajaran Hundu-Buddha untuk diajarkan kembali ketika pulang ke tanah air.

5. Teori Sudra

Teori ini dikembangkan oleh Van Faber yang berpendapat bahwa ajaran Hindu-Buddha dikembangkan di Indonesia melalui kaum Sudra yang telah bermigrasi dari India ke Indonesia.  Mereka datang ke Indonesia untuk mencari penghidupan yang layak dan sekaligus juga menyebarkan ajaran Agama Hindu-Buddha kepada penduduk lokal.

Teori ini juga didukung oleh kemungkinan kaum Sudra yang memiliki banyak peluang untuk masuk ke Indonesia sebagai pengikut suatu kaum, seperti Kaum Ksatria, Kaum Waisya, maupun Kaum Brahmana.

Teori ini memiliki kelemahan yaitu adanya kenyataan bahwa kaum Sudra merupakan kaum buangan atau budak yang umumnya tidak mengerti banyak hal tentang agama karena tingkat pengetahuan mereka yang terbatas.

Referensi:
Suparno, Drs. 2018. Modul Pendamping Sejarah Indonesia untuk SMK/SMA Kelas X Semester 1.  Klaten Utara: Mulia Group.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel