Sejarah Perkembangan Pendidikan Karakter dari Era Yunani, Era Romawi hingga Indonesia

wawasanpendidikan.com; pendidikan karakter pada dasarnya sudah ada sejak era Yunani maupun Era Romawi. perkembangan pendidikan karakter semakin meluas hingga masuk ke Indonesia. nah, kali ini sobat pendidikan akan memaparkan bagaimana Perkembangan Pendidikan Karakter dari Era Yunani, Era Romawi hingga Indonesia. semoga bermanfaat. 

Perkembangan pendidikan karakter tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang sejarah peradaban manusia. Karena dalam peradaban itulah karakter individu dan karakter suatu bangsa dibangun oleh kebudayaan masing-masing. Karakter individu dan karakter bangsa dapat dikatakan sama tuanya dengan umur manusia dan proses pendidikan itu sendiri.  

Setiap zaman memiliki perspektif yang berbeda dalam membentuk  dan menentukan karakter yang tepat berdasarkan kondisi sosial yang dialami. Maka dari itu terdapat cara yang beragam dalam praktik pendidikan karakternya. Cara dan prioritas yang berbeda-beda sesuai kebutuhan masyarakatnya mengakibatkan perbedaan orientasi dalam pembentukan karakter suatu bangsa.
Sejarah Perkembangan Pendidikan Karakter dari Era Yunani, Era Romawi hingga Indonesia

A. Pendidikan Karakter era Yunani
Pendidikan karakter di era peradaban Yunani (abad VII-II SM) mengalami beberapa fase.pada fase awal, karakter manusia terlihat dalam bentuk gambaran manusia yang ideal yang disebut juga manusia yang memiliki arête, yaitu sesuatu yang menjadikan sesuatu menjadi berbeda dan unik. Dalam kenyataan moral, arête berarti keutamaan, nilai, bijaksana, nama baik, keberanian, dan keunggulan. Pada masa awal kejayaan Yunani, gambaran manusia yang ideal tampil dalam bentuk pahlawan, yakni dari kalangan bangsawan, fisik yang bagus tanpa cacat, berani, menang dalam duel, kaya dan berkuasa. Jadi pada fase ini lebih menekankan pertumbuhan dan perkembangan potensi yang dimiliki individu secara utuh. Baik secara fisik –kuat, tangguh, gagah- maupun secara moral –bijaksana, berani, dan nama baik-. 

Sifat kepahlawanan sebagai indikasi manusia yang ideal dipakai pula pada masa keemasan Sparta (abad VIII-VI SM). Yang berbeda terletak pada kepahlawanan yang individual disempurnakan dengan kepahlawanan kolektif yang cinta tanah air (patriot). Semangat dan jiwa yang cinta tanah air akan mengantarkan seseorang menjadi manusia yang bermoral dan rela berkorban. Seorang individu tidak akan mencapai kesempurnaan jika belum memiliki sifat rela berkorban untuk tanah airnya. Tujuan mereka satu, yaitu menyiapkan angkatan muda Yunani yang nasionalis, merdeka dan mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah airnya. 

Pendidikan karakter pada fase selanjutnya mengemukakan gagasan tentang manusia ideal yang dapat dimiliki oleh semua orang. Tidak hanya dari kalangan bangsawan, tetapi bisa juga diraih mereka yang berasal dari rakyat jelata, petani dan kalangan bawah lainnya. Konsep arête yang semula adalah mereka yang pahlawan dan bangsawan diubah menjadi mereka yang bersahaja menjalani hidup, bekerja keras dalam bidangnya dan mampu berbuat adil. Seorang petani bisa menjadi manusia yang ideal jika bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya dan berbuat adil. Begitu pula prajurit atau para pekerja lainnya. Mereka yang tidak bekerja keras dianggap telah berlaku tidak adil sehingga tidak akan bisa menjadi manusia ideal meskipun berasal dari kalangan bangsawan. 

Kemudian pandangan masyarakat Yunani tentang karakter mendapat nuansa baru melalui tokoh besar Yunani, Socrates (470-399 SM). Manusia adalah jiwanya, dan jiwa merupakan sesuatu yang sentral dari seorang manusia. Paradigma Socrates yang terkenal adalah “kenalilah dirimu sendiri”, yang berarti pula harus mampu mengenali jiwa dalam dirinya karena jiwa itulah yang memiliki dan mengendalikan kekuatan berpikir, bertindak, serta menegaskan nilainilai moral dalam hidup.

Di akhir hayatnya, ia dihukum mati dengan cara menenggak racun demi mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Ia tidak mau melarikan diri dari penjara karena hal itu tidak dapat dibenarkan secara moral. Socrates tidak mau mengorbankan prinsip dan kebenaran yang diyakini suara jiwanya dengan melarikan diri.

Setelah meninggalnya Socrates, pemikiran tentang karakter dilanjutkan oleh muridnya, Plato (427-347 SM). Menurutnya, kebenaran hakiki terdapat pada ide dan gagasan yang berada di balik alam fisik, yaitu jiwa atau alam rohani. Dari jiwa itulah akan muncul keutamaan-keutamaan dalam diri seseorang. Keutamaan itu meliputi hikmat kebijaksanaan, keberanian, keperwiraan dan keadilan. Hikmat  kebijaksanaan yang mengatur diri seseorang untuk kebajikan. Keberanian lebih ditekankan pada berani melawan dan menolak kejahatan. Keperwiraan menuntun seseorang agar tidak berlebihan dalam kehidupan. Sedangkan keadilan mendorong seseorang untuk berbuat sesuai kepentingan dan kebutuhan masyarakat.

B. Pendidikan Karakter ala Romawi
Pendidikan karakter pada masa Romawi banyak terpengaruh kebudayaan Yunani. Terutama dalam patriotisme atau kecintaan terhadap tanah air sebagai karakter manusia yang ideal. Dalam perkembangannya, terdapat ciri dari pendidikan karakter Romawi yang membedakan dengan masa Yunani. Pendidikan karakter Romawi terutama dibentuk melalui lingkungan keluarga dengan menghormati apa yang disebut dengan mos maiorum dan sistem pater familias.

Mos maiorum merupakan rasa hormat atas tradisi yang telah diberikan oleh leluhur. Tradisi leluhur yang baik harus tetap dihayati, dihormati dan diamalkan sebagai norma dalam tingkah laku dan cara berpikir dalam kehidupan bermasyarakat. Unsur-unsur dasar dalam peradaban Romawi yang menjadi elemen pembentuk karakter adalah nilai-nilai seperti mengutamakan tanah air (prioritas pertama untuk negara, kedua orang tua, baru untuk diri sendiri),  rasa hormat pada dewa -merupakan nilai tradisioanal yang menjadi dasar kebesaran
Romawi-, kesetiaan terutama dalam menepati janji yang telah diucapkan, dan stabilitas kehidupan.

Ciri khas dari pendidikan karakter Romawi yang kedua adalah Pater familias, yakni menjadikan keluarga sebagai tempat utama dalam proses pendidikan anak. Karakter anak akan terbentuk dari lingkungan keluarganya, terutama sang ayah. Sejak awal anak-anak diperkenalkan pada dinamika kehidupan publik dengan mengikuti dan mencontoh tata cara hidup sang ayah.

Dengan demikian bisa diambil kesimpulan bahwa terdapat dua karakteristik atau ciri khas dari pendidikan karakter Romawi. Yaitu Pendidikan karakter Romawi menghormati nilai-nilai tradisional yang dianggap sebagai warisan leluhur yang mesti dijaga keberlangsungan dan pelaksanaannya. Serta pelaksanaannya dimulai dari lingkungan keluarga sebagai masa awal pertumbuhan dan perkembangan individu.

C. Pendidikan Karakter di Indonesia
Pendidikan karakter bukan merupakan hal baru dalam peradaban bangsa Indonesia. Tokoh-tokoh seperti RA Kartini, Ki Hadjar Dewantara, KH. Hasyim Asy’ari, Soekarno, Moh. Hatta, Tan Malaka, Soe Hok Gie hingga Abdurrahman Wahid telah mencoba menerapkan semangat pembentukan kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan konteksnya masing-masing.

Perjuangan RA Kartini misalnya, dengan semangat penyataraan dalam memperoleh pendidikan antara laki-laki dan wanita, yang kaya dan miskin, beliau berusaha agar kaum wanita terangkat derajatnya melalui pendidikan. Menurutnya, kebudayaan bangsa akan maju jika masyarakatnya berpendidikan, laki-laki ataupun wanita. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma. 

Membentuk identitas dan jatidiri bangsa merupakan keprihatinan pokok para pendiri bangsa ini. Ketika masih terpecahbelah dalam suku dan daerah, mereka mempunyai keinginan yang  sama untuk mengusir penjajah dan meraih kemerdekaan. Secara historis, pada masa awal kebangkitan nasional –pra kemerdekaanmenjadi puncak dari keprihatinan tersebut.

Pada masa pra kemerdekaan, karakter bangsa Indonesia lebih ditujukan pada ranah persatuan dan kesatuan meraih kemerdekaan. Dari sinilah lahirnya Sumpah Pemuda yang mampu mengikat perbedaan yang ada di nusantara dalam persatuan. Satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, Indonesia.

Dalam pembentukan karakter bangsa yang kuat, Soekarno layak menjadi tokoh sentral bangsa ini di tengah penjajahan bangsa lain. Bung Karno tidak ingin bangsa ini memiliki mental budak yang jauh dari keinginan merdeka. Maka ia mencoba menggugah dan membangun kembali karakter dan mental manusia Indonesia untuk merdeka. Karakter bangsa tidak akan terwujud tanpa adanya kemerdekaan. Dan tidak akan ada kemerdekaan jika dalam mentalitas bangsa tidak ada semangat dan keinginan untuk merdeka.

Setelah melalui perjuangan yang berat, akhirnya Soekarno melihat impiannya menjadi kenyataan, Indonesia yang merdeka. kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kuatnya karakter bangsa untuk bebas dari penjajahan seperti yang disampaikan Soekarno. Ia tidak berhenti di situ saja, pemikirannya terus berlanjut bersama pendiri bangsa yang lain dengan mendasari Indonesia yang plural ini dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa. 

Paska kemerdekaan hingga era reformasi sekarang, pendidikan karakter di Indonesia identik dengan manusia Pancasila, yakni manusia Indonesia yang menghayati dan mengamalkan nilai-nilai dalam Pancasila. Dalam implementasinya, proses pembentukan manusia pancasila mengalami berbagai perubahan. Pada orde lama, Pancasila dijadikan alat pemersatu bangsa. Sedangkan masa orde baru menjadikan Pancasila sebagai doktrin tunggal dan alat pelanggeng  kekuasaan. Lebih ironis lagi era reformasi sekarang, di mana manusia
Indonesia semakin memudar pemahamannya tentang Pancasila. Sehingga bisa dikatakan bahwa Indoensia saat ini seperti negara yang besar tapi tanpa karakter.

Merujuk pada apa yang pernah disampaikan Mohandas K. Gandhi, ia mengingatkan kepada dunia tentang ancaman mematikan dari “tujuh dosa sosial”. Yaitu politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas dan peribadatan tanpa pengorbanan. Dan disadari atau tidak, hal tersebut telah merasuk ke dalam kehidupan bangsa kita saat ini hingga menyebabkan pergeseran –jika tidak mau disebut hilangnya- karakter bangsa.

Ketiadaan karakter bangsa tersebut menyebabkan bangsa Indonesia tidak punya landasan pijak dalam melakukan perubahan. Akibatnya pembangunan di negeri ini justru berorientasi pada fisik dan materi belaka, sementara mental dan karakter manusia dilupakan. Padahal WR. Supratman dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya sudah mengingatkan untuk “ bangunlah jiwanya, bangunlah badannya…”. Jadi yang lebih utama dibangun adalah jiwa, mental, kepribadian dan karakter manusia Indonesia. Baru membangun fisik dan materi dari seluruh elemen bangsa.

Sumber:
  • Koesoema A., Doni. (2010). Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grafindo 
  • Ahmad Amin. (1995). Ilmu Akhlak. Jakarta: Bulan Bintang
  • Yatimin Abdullah. (2007). Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Quran. Jakarta: Amzah
  • Latif, Yudi. (2009).  Menyemai Karakter Bangsa, Jakarta: Kompas

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel